Selasa, 12 Juni 2012

[ARTIKEL] Animasi Korea: Tak Kenal Maka Tak Sayang


Bicara tentang Korea, khususnya Korea Selatan, biasanya yang segera muncul di benak adalah produk-produk berbasis teknologi tinggi dengan merk-merk seperti Samsung atau LG. Ternyata kiprah Korea pun tidak kalah hebatnya dalam dunia animasi. Beberapa film animasi dari Negeri Ginseng ini beberapa kali meraih penghargaan tertinggi dalam festival-festival film animasi terkenal macam Annecy International Animated Film Festival, seperti yang ditunjukkan oleh My Beautiful Girl, Mari (Mari Iyagi) besutan sutradara Lee Soeng-gang di tahun 2002 dan Oseam karya sutradara Seong Baek-yeob di tahun 2004. Selain itu, beberapa ajang festival animasi berskala internasional pun telah hadir secara rutin: Seoul International Cartoon and Animation Festival (SICAF), Jeonju Animation Festival atau Pucheon International Student Film Festival (PISAF). Kiprah internasional Korea dalam animasi juga makin diperkokoh dengan kehadiran beberapa animator terkenal kelahiran Korea seperti Peter Chung dengan karya monumentalnya, Aeon Flux (2005) dan segmen Matriculated dalam Animatrix (2003). Di Indonesia, mungkin kiprah animasi Korea yang banyak dikenal adalah lewat serial animasi Pororo The Little Penguin yang dulu sempat diputar di salah satu televisi swasta, selain lewat karakter-karakter seperti Pucca atau Mashimaro yang dikenal melalui media animasi di internet.
Apa dan kenapa Animasi Korea
Kemajuan animasi dari Korea ini tidak terlepas dari giatnya industri animasinya sendiri. Mungkin memang tidak banyak orang yang mengetahui film-film animasi asal Korea ini, karena yang rasanya lebih dikenal adalah kepopuleran drama-drama serta permainan game online-nya. Dan rasanya akan banyak yang juga tidak tahu bahwa yang berperan dalam proses produksi serial-serial animasi terkenal seperti The Simpsons, Futurama dan The Tigger Movie adalah animator-animator asal Korea. Industri animasi Korea memang banyak terbangun oleh pekerjaan-pekerjaan subkontrak semacam ini.
Pekerjaan subkontrak dalam animasi biasanya mengacu pada tahapan produksi yang membutuhkan keahlian dan ketrampilan teknis tetapi tidak membutuhkan kreativitas. Pekerjaan yang masuk dalam kategori ini misalnya adalah sebagai in betweener (orang yang bertugas mengisi gambar antara dalam satu sekuen gerakan), clean up artist (orang yang bertugas men-tracing gambar-gambar animasi yang masih kasar) atau colorist. Maka tidak heran, jika animator-animator asal Korea memiliki keahlian yang tinggi dalam hal teknis dan produksi sehingga dipercaya menggarap produksi-produksi animasi-animasi terkenal model The Simpsons tadi. Sayangnya bentuk pekerjaan seperti ini akan melatih ketrampilan tadi tetapi memberikan sedikit tantangan bagi pengembangan kreativitas (misalnya untuk pengembangan ide cerita dan skenario), khususnya pada area penceritaan ataustorytelling. Untungnya dalam beberapa tahun terakhir ini, produksi-produksi animasi Korea telah mulai dengan membuat film-film animasi lokal mereka sendiri, mulai dari animasi serial televisi hingga animasi untuk konsumsi layar lebar yang berbiaya tinggi.
Salah satu karya animasi yang banyak dipuji karena memiliki karakter Korea adalah My Beautiful Girl, Mari dari sutradara Lee Sung-gang. My Beautiful Girl, Mari atau yang lebih dikenal sebagai Mari Iyagi bertutur mengenai kisah seorang anak bernama Nam-woo dan perjuangannya untuk mengatasi rasa kesendirian: ia kehilangan ayahnya yang meninggal akibat kecelakaan di laut, ibunya mulai dekat dengan lelaki yang tampaknya akan menjadi ayah tirinya, neneknya mulai sakit-sakitan serta Jun-ho, sahabat karibnya akan pergi melanjutkan sekolah menengah di ibukota Seoul. Nam-woo secara tidak sengaja menemukan tempat pelarian berupa alam fantasi di mana ia berjumpa dengan Mari, seorang gadis bisu yang menghuni alam fantasi tersebut. Diproduksi tahun 2002,Mari Iyagi menampilkan visual yang memang sangat berbeda dari kutub-kutub animasi saat itu: Walt Disney dan anime Jepang. Meski dibuat menggunakan aplikasi-aplikasi sederhana seperti program 3D Max danMacromedia Freehand, tampilan visual Mari Iyagi yang bagaikan ilustrasi vector-based tanpa outline ditambah materi cerita yang cukup dewasa membuatnya memiliki daya tarik tersendiri. Film ini berhasil meraih penghargaan Grandprix dari festival film animasi Annecy tahun 2003. Lee Sung-gang (sutradara Mari Iyagi) kemudian melanjutkan produksi film animasi panjang Korea berikutnya dengan kisah Youbi the Five Tailed Fox di tahun 2007.
Film animasi lain yang cukup fenomenal adalah Wonderful Days, sebuah project animasi berbudget sangat besar yang menggabungkan dunia 3D dengan karakter 2D. Mengambil setting futuristik di dunia antah berantah,Wonderful Days berkisah mengenai pertarungan dua ras penghuni bumi yang tersisa dalam bertahan hidup. Satu ras bertahan hidup dengan cara mencemari bumi sebagai upaya memperoleh energi sedang ras lainnya justru berupaya menghentikan usaha pencemaran tadi. Kisah semakin diperumit dengan kisah cinta segitiga antara tiga orang yang berada pada posisi yang saling berseberangan. Sayangnya meski memiliki visualisasi yang sangat indah dan gabungan beragam teknik animasi terbaru pada masa itu, Wonderful Days menemui kegagalan di pasaran terutama karena kelemahan dari sisi penceritaan.
Lalu di tahun 2006, kembali muncul film animasi panjang lainnya dengan setting di dunia futuristik yang hancur lebur, Aachi and Ssipak, karya sutradara Jo Beom-jin. Meski sama-sama bersetting di dunia apokolips, Aachi and Ssipak mengambil pendekatan komedi gelap (black comedy), apalagi didukung dengan desain karakter yang sangat kartun dan tidak proporsional. Film ini juga ditujukan pada kalangan dewasa mengingat cerita dan humor-humornya yang kasar dan punya konotasi seksual yang kuat.
Selain film-film animasi panjang, produksi film animasi Korea juga diwarnai oleh keragaman animasi-animasi pendek (short animation), baik untuk dilombakan dalam festival maupun tidak. Beberapa bahkan digarap secara khusus untuk menaungi tema-tema khusus seperti antologi Anima Vision: If You Were Me yang berisi animasi pendek mengenai rasisme dan diskriminasi terhadap kalangan-kalangan minoritas di Korea, seperti penderita cacat fisik, kaum imigran atau kaum wanita. Para kreator animasi-animasi pendek ini pun juga beragam, mulai dari kalangan pelajar dan mahasiswa hingga studio-studio animasi amatir. Dan tentunya tidak ketinggalan produksi animasi untuk serial televisi seperti Pororo the Little Penguin dan Janggeum’s Dream yang ditujukan untuk anak-anak.
Secara umum, bisa dibilang bahwa animasi Korea memiliki tema-tema yang begitu beragam, mulai dari animasi untuk anak-anak hingga yang dikhususkan untuk kalangan dewasa. Meski pengaruh dari Jepang dan Amerika juga cukup terasa, khususnya pada gaya visual, hal ini tidak menutup eksplorasi-eksplorasi visual yang membuat animasi Korea menjadi sangat variatif. Teknologi animasi 3D dengan motion capture serta rotoscoping[i] juga cukup sering dijumpai dalam beberapa animasi, seperti adegan pembuka dan penutup dari film Wanee and Junah yang mengambil pendekatan realistis bergaya lukisan cat air.
Event-event terkait dengan animasi di Korea
Hal yang paling terasa di Korea adalah nuansa dunia animasi yang serasa dekat dengan masyarakatnya melalui beragam event tahunan dengan skala internasional. Event tahunan yang rutin dilaksanakan pun beragam, mulai dari yang memang terpusat pada animasinya hingga media-media yang berkaitan seperti komik, game dan karakter. Seoul International Cartoon and Animation Festival atau SICAF misalnya sudah terselenggara untuk yang kesebelas kalinya, begitu pula dengan event bagi mahasiswa, Pucheon International Student Animation Festival (PISAF) yang sudah diadakan sembilan kali. Untuk bidang komik dan karakter terdapat ajang Seoul Character Fair atau Bucheon International Comics Festival (BICOF). Bisa dibilang, dalam setahun terdapat lebih dari dua event seperti ini yang membuat keberadaan dunia dan industry animasi menjadi semakin tidak berjarak dengan masyarakatnya. Apalagi banyak pengunjung yang justru datang dari generasi muda seperti anak-anak dan remaja. Bisa jadi membuat cita-cita menjadi animator akan tumbuh berkembang pula.
Hal yang positif dari event-event internasional ini adalah adanya hubungan yang erat antara industri dengan akademisi. Dalam SICAF misalnya, yang ditampilkan tidak hanya booth-booth dari studio animasi profesional seperti VOOST (pemegang hak untuk karakter Pucca), Meditation With Pencil (MWP)-satu studio animasi yang menjanjikan karena sering memenangkan penghargaan- tetapi juga sekolah dan pendidikan tinggi yang memiliki jurusan khusus animasi. Cara mereka menampilkan diri melalui booth masing-masing juga tidak kalah seriusnya dengan booth kalangan profesional. Lalu pada event PISAF yang memang dimaksudkan untuk menampilkan karya-karya animasi dari kalangan mahasiswa, justru porsi promosi dari sekolah-sekolah animasi ini yang tampaknya menjadi fokus, dan rata-rata setiap sekolah itu tampil all out dengan portofolio masing-masing yang juga mumpuni. Yang membuat sedikit terkejut adalah jenjang sekolah animasi di Korea ini ternyata sudah dimulai dari tingkat sekolah menengah atas dan berlanjut hingga jenjang pascasarjana. Animasi ternyata sudah menjadi pilihan profesi yang menjanjikan sehingga bagi yang tertarik dengan profesi ini bisa mulai menekuninya sejak jenjang pendidikan menengah.
Selain menjadi kegiatan promosi dari film atau karakter-karakter yang sudah terkenal seperti Pucca, Mashimaro atau juga karakter dari luar negeri semacam Hello Kitty, Mickey Mouse dan Naruto, festival dan pameran animasi internasional juga sekaligus dimanfaatkan sebagai arena pertemuan dari studio-studio animasi dengan calon-calon investor yang berasal dari manca Negara. Hampir setiap event ini memiliki apa yang dikenal dengan ‘promotion project’. Pemenang dari kompetisi ini nantinya akan mendapat bantuan dana untuk mewujudkan animasi yang mereka ajukan menjadi produk sesungguhnya. Dari hal seperti ini maka tidak saja menjadi kesempatan untuk memajukan industri animasi dalam negeri sendiri tetapi sekaligus menjadi ajang unjuk kebisaan dan bukti keberadaan animasi lokal Korea. Paling tidak masyarakat bisa secara langsung melihat berapa banyak film-film animasi buatan dalam negeri yang tampil di sana, dengan kualitas yang sebanding dengan karya-karya dari negara-negara lain seperti Amerika dan Jepang.
Dalam skala yang lebih sederhana, kegiatan ini juga dimanfaatkan untuk perkenalan seniman-seniman amatir. Di event Seoul Character Fairmisalnya, ada area khusus bagi para amatir ini untuk tidak saja memamerkan karya-karya mereka, tetapi juga berinteraksi langsung dengan pengunjung.
Selain dengan event-event besar dan berskala internasional di atas, ada juga beberapa kegiatan animasi berupa pemutaran film-film animasi pendek dari manca negara. Kegiatan-kegiatan ini, seperti event Animpact!memang terasa sederhana, tetapi ternyata film-film yang diputar pun memiliki kualitas yang tinggi karena merupakan film-film terseleksi dari beberapa festival animasi dunia. Sehingga peluang untuk menambah wawasan bagi para penggila dan juga kreator animasi menjadi sangat terbuka. Tinggal meluangkan waktu beberapa saat untuk melihat festival ini dan proses cuci otak dengan beragam animasi dunia pun akan segera terjadi.
Kemajuan dunia animasi Korea bagaimanapun tidak lepas dari dukungan yang solid dari pemerintah Korea sendiri. Tahun 1994, pemerintah Korea memutuskan bahwa animasi adalah bagian dari apa yang disebut sebagai culture contents technology sebagai satu dari enam pilar teknologi tinggi di masa depan. Dukungan pemerintah ini tetap konsisten, terutama di saat krisis ekonomi melanda di tahun 1997-1998 dan hal tersebut berulang kali membangkitkan kembali industri animasi Korea yang juga beberapa kali terpuruk. Keberadaan film animasi lokal Korea yang terbilang konsisten ini membuat prospek yang terbilang positif di masa depan.

Tidak ada komentar: