Super Junior FanFiction: “BOLERO [Happy
Birthday Siwon]“
BOLERO, kupandangi tulisan yang melekat pada
sebuah papan kayu di atas pintu masuk. Kuturunkan topiku sedikit saat ada
beberapa orang berjalan melewatiku. Kupandangi tulisan itu sekali lagi dan tersenyum.
Restoran inilah tempat dimana aku dan member yang lain merayakan pesta ulang
tahunku. Merayakan bertambahnya satu umurku. Aku menua!
Kuhentikan lamunanku dan berjalan mendekati
pintu masuk. Di sana ada seorang penjaga yang siap membukakan pintu untukku.
Setelah di dalam, kulepaskan topiku. Suasananya tidak terlalu ramai, karena ini
restoran mewah yang tak sembarang orang bisa memasukinya. Minimal kau harus
mempunyai prestise yang cukup di depan publik bila ingin berkunjung kemari. Ya,
tempat ini mengagungkan sebuah status kedudukan seseorang.
Aku memasuki lebih dalam lagi, menuju meja panjang dengan tigabelas kursi yang sudah kupesan sebelumnya. Aku melepaskan mantel dan menaruhnya di sebuah kursi, lalu duduk. Kulirik jam tanganku, pukul sebelas malam. Sedangkan acara dimulai pukul setengah dua belas. Mereka terlalu sibuk! Dan aku sengaja datang lebih awal atas saran Eunhyuk. Dia memintaku untuk melakukan sesuatu. Hal yang sebenarnya sudah kupendam sejak dua bulan yang lalu.
Aku memasuki lebih dalam lagi, menuju meja panjang dengan tigabelas kursi yang sudah kupesan sebelumnya. Aku melepaskan mantel dan menaruhnya di sebuah kursi, lalu duduk. Kulirik jam tanganku, pukul sebelas malam. Sedangkan acara dimulai pukul setengah dua belas. Mereka terlalu sibuk! Dan aku sengaja datang lebih awal atas saran Eunhyuk. Dia memintaku untuk melakukan sesuatu. Hal yang sebenarnya sudah kupendam sejak dua bulan yang lalu.
“Mau pesan minum, Tuan?” tanya seorang waitress.
Aku mendongak dan terkejut. Dia…dialah
alasanku mengapa datang lebih cepat kemari. Dengan refleks kubenahi rambut dan
posisi dudukku.
“Espresso?” tanyanya, lagi-lagi membuatku
terkejut.
Aku mengangguk dan tersenyum. Dia tahu minuman
favoritku yang biasa kupesan.
“Baiklah, mohon tunggu sebentar!”
Shim Chaesa. Aku tahu namanya dua bulan yang
lalu melalui nametag yang ia kenakan. Aku tak pernah dilayani oleh waitress
lain, selalu saja dia. Dan aku bersyukur selalu bisa melihat senyumnya.
Eunhyuk memintaku datang kemari lebih awal
karena mengharapkan aku dapat berkenalan dengan gadis itu. Selama dua bulan
setiap kali aku kemari dan melihat senyumnya, entah kenapa lidahku kelu. Sama
sekali tak dapat bergerak hanya sekedar untuk menyapanya. Sehingga selalu saja
espresso yang kupesan.
Dia datang. “Silakan…”
“Kam…kamsahamnida.”
Gadis itu tersenyum. Aku membeku.
“Panggil saya jika membutuhkan yang lain.
Permisi, Tuan.”
Kubuka mulutku untuk mencegahnya pergi, namun
gagal. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Kesal, kupukul pahaku
sendiri.
Kutinggalkan meja untuk pergi ke toilet. Saat
melewati pintu dapur, kulihat Chaesa tengah menyalakan sebuah lilin di atas
muffin kecil dan berbicara sendiri.
“Siwon-sshi, saengil cukhae. Aku hanya bisa
begini, tak berani menatap wajahmu. Saengil cukh…,” belum selesai ia berbicara,
aku sudah menariknya keluar dapur. Kuseret ia ke mejaku.
“Omo, lepaskan! Ah, air lilinnya jatuh
ke muffin. Ah, Siwon-sshi, lepaskan!”
+++++++
KUPANDANGI muffin kecil di hadapanku. Terlihat
istimewa jika ini berasal dari gadis yang kusukai. “Gomawo…”
Chaesa menundukkan wajahnya malu. “Saengil
cukhaeyo, Siwon-sshi.”
Aku tersenyum lebar, “Gomawo. Aku
benar-benar senang sekali.”
“Tapi itu hanya muffin murah.”
“Tapi bagiku ini adalah hadiah terindah yang
pernah kudapatkan. Gomawo, Chaesa-ah.”
Kulihat senyum ceria merekah di wajahnya. Kami
mengobrol lama. Dia pribadi yang menyenangkan, sungguh membuatku semakin
menyukainya. Tidak! Aku sudah mulai mencintainya. Perasaan yang sudah kupupuk
selama dua bulan ini telah berubah menjadi cinta. Dan setelah mengobrol
dengannya, aku semakin mencintainya.
“Senang sekali akhirnya bisa mengenalmu.”
“Ne?” sahutnya.
“Aku berharap bisa mengenalmu dari dulu.
Namun, aku tak mempunyai keberanian untuk mendekatimu. Status ini
memberatkanku. Karena setiap wanita yang kuajak ngobrol, biasanya takkan
bertahan lebih dari sepuluh menit. Mereka sangat menjaga jarak dengan
statusku.”
Chaesa tersenyum, “Idol juga manusia.
Aku menganggapmu sama seperti teman-teman waitress lainnya. Hhh…
Sebenarnya aku benci bekerja di restoran orang terpandang ini. Tapi aku
bertahan hanya karena…,” dia meraih muffin yang ada di hadapanku, “…hanya
karena pemilik muffin ini.”
“Na?” tanyaku tak percaya.
Chaesa tersenyum, namun kali ini senyumnya
agak berbeda. Seperti ada beban yang menggantung di kedua ujung bibirnya.
“Benarkah?” kuraih kedua tangannya,
“Chaesa-ah, aku…aku menyukaimu. Izinkan aku mencintaimu dan mendampingimu tanpa
melihat statusku. Anggaplah aku orang biasa sama sepertimu!”
Dia membelalakkan matanya. Mulutnya terbuka.
Tak lama kemudian ia menarik tangannya dan menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan mata berkaca-kaca. “Andwae! Andwae!”
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Jika aku
mengatakannya sekarang, ini akan menjadi hadiah terhebat yang pernah
kudapatkan, “Saranghamnida…”
Dia menatapku, tatapannya berang. Kemudian air
matanya meleleh.
“Waeyo?” tanyaku panik seraya meraih
kembali kedua tangannya, namun ia menariknya.
“Babo! Kenapa kau baru mengatakannya
sekarang?! Sudah lama aku menyukaimu dan lambat laun perasaan suka ini berubah
menjadi cinta. Aku sangat mencintaimu. Berharap bisa menikah denganmu suatu
hari nanti.”
“Ne?”
“Tapi mengapa baru sekarang kau
mengatakannya?! Mengapa tidak dari dua minggu yang lalu?!” pekiknya.
Aku tak mengerti apa yang ia katakan, hingga
akhirnya ia mengangkat tangan kanannya. Kulihat cincin perak tersemat di jari
manisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar