Minggu, 26 Februari 2012

^^Super Junior FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^ [Part III]


^^Super Junior FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^

 [Part III]

Gangam Hospital. 7 bulan kemudian, Oktober 2009 – 16:01pm.
Aku tak memedulikan rambutku yang berantakan tertiup angin, atau dadaku yang sesak karena hampir kehabisan napas. Tujuanku adalah secepatnya sampai di ruang bersalin. Aku terpaksa berlari melalui tangga darurat menuju lantai tujuh karena lift perlu mengantri, aku tak memiliki waktu untuk antri.
Di ujung lorong, di ruang tunggu, aku melihat banyak sekali orang yang menunggu. Rata-rata bahasa tubuh mereka menunjukkan kalau mereka sedang gelisah. Gelisah menunggu kelahiran sang bayi dan keselamatan si ibu.
Aku berjalan mendekati mereka semua. Dan aku merasa menyesal telah datang. Di sana, di kursi paling ujung, kulihat Siwon dan Heebon tengah berpegangan tangan dan sesekali Siwon merangkulnya. Aku tak bisa melakukan apapun walaupun dia suamiku. Padahal ingin sekali kujambak rambut Heebon dan menyeretnya untuk menjauhi suamiku. Tapi sekali lagi, aku teringat akan ucapan Siwon kalau aku tak bisa berharap banyak darinya. Jadi aku hanya diam, pura-pura tak melihat mereka.

“Chaesa-ah,” panggil Seera-onnie menghampiriku.
“Onnie,” aku membungkuk, “Annyeong, Chansoo-ah,” sapaku dan kugendong anak lelakinya.
“Dari mana saja kau? Kenapa baru datang?”
“Aku habis dari studio balet, ada sesuatu yang harus kuselesaikan. Bagaimana keadaan Hyeon?”
“Hyeon-ah masih di dalam. Kabarnya belum pasti. Hangeng juga ada di dalam menemaninya. Ah, beruntung sekali dia, melahirkan ditemani suaminya.”
Teuki-oppa mendengar apa yang baru saja Seera-onnie katakan. Dia menghampiri kami dan mulai membela dirinya, “Kau masih saja membahasnya. Aku kan sudah minta maaf. Supershow benar-benar tak dapat kuhindari. Lagipula dari mana aku tahu kalau malamnya kau akan melahirkan?”
“Aku juga mana tahu akan melahirkan hari itu!!!” sewot Seera-onnie tak mau kalah.
“Onnie, Oppa… Kumohon jangan bertengkar lagi!” pintaku.
Mereka berdua menunduk malu. Kukembalikan Chansoo pada eommanya lalu berjalan menghampiri Donghae dan berdiri di sampingnya. Kulihat Jiwon bersandar di dada Eunhyuk, lalu memanggil Siwon dan memelototinya. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia maksud. Namun yang pasti, sesekali Jiwon menelengkan matanya ke arahku lalu ke Siwon lagi.
Siwon berdiri hendak menghampiriku. Saat mulutnya terbuka ingin memanggilku, Hangeng-oppa keluar dari ruangan dan berteriak kalau anaknya sudah lahir. Kami semua bersorak. Beberapa malah ada yang menangis. Dan yang menyakitkan, aku melihat Heebon berlari menuju Siwon dan memeluknya dari belakang. Siwon menatap mataku, aku yakin sekali dia menatap kedua mataku. Namun dia tidak peduli dan lebih memilih berbalik meyambut pelukan Heebon. Dadaku sesak. Ingin sekali rasanya aku berteriak dan menangis saat itu juga.
Aku benar-benar tak sanggup lagi berlama-lama di sana. Maka kuputuskan untuk pergi. Aku memilih untuk menyendiri di kantin rumah sakit. Tak terbayangkan rasanya di saat yang lain berbahagia, aku malah merasakan sakit yang sangat dalam. Sepertinya ada sebuah lubang yang menganga lebar di dadaku. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, suamiku sama sekali tidak peduli akan perasaan istrinya ini.
Kutarik kursinya yang merapat ke meja, lalu duduk di atasnya. Kutenggelamkan wajahku ke dalam lipatan tangan. Bayang-bayang kejadian tadi terus berkelebat di pikiranku, aku sama sekali tak dapat mengontrolnya. Aku butuh seseorang yang dapat mengalihkan perhatianku!
“Boleh aku duduk di sini?”
Kudongakkan kepalaku, “Donghae-ah?! Tentu saja.”
Donghae menarik kursinya kemudian duduk. Lalu dia menatap wajahku dengan serius. Tak lama kemudian pergi memesan minuman. Aku masih tenggelam dengan pikiranku. Cho Heebon… Aku benar-benar ingin melemparnya ke neraka!!!
“Jangan dipikirkan!” celetuk Donghae tiba-tiba.
Aku tersadar dari lamunan dan mengalihkan perhatianku padanya.
“Aku tahu kalau kau sedih melihat Siwon dan Heebon sedekat itu.”
Mwo? Ah, aniyo. Aku tak memusingkan hal itu,” sahutku bohong.
“Jangan berkilah! Aku tahu kau sangat cemburu. Apalagi saat melihat mereka berpelukan tadi. Jangan kau pikir aku tak melihat reaksimu. Aku tahu hatimu sangat terluka.”
Aku menyerah mempertahankan gengsiku, “Lantas aku harus bagaimana?”
Bukannya menjawab, dia malah menatapku balik.
“Donghae-ah, aku harus bagaimana?”
“Tahan pembicaraannya. Mereka ada di belakangmu.”
Mwo?” tanyaku bingung. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Siwon dan Heebon berjalan menuju kantin. Wajah mereka sangat berseri-seri, membuatku iri setengah mati.
Annyeong haseyo,” sapa Heebon cerah.
Aku mengangguk dan kulihat Donghae hanya nyengir. “Wah sayang sekali kalian baru datang. Aku dan Chaesa baru saja berencana untuk kembali menjenguk Hyeon. Kami duluan kalau begitu,” pamit Donghae yang langsung menggamit tanganku.
“Tunggu,” potong Siwon dan melepaskan tanganku dan Donghae yang saling bertaut, “Biar aku saja yang mengantarnya.”
“Oke,” ucap Donghae puas.
Kulihat Heebon ikut berjalan di belakang kami, namun Donghae segera menarik tangannya dan menyuruhnya duduk di kursi. Selama perjalanan, aku dan Siwon lebih banyak diam. Kami sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Setibanya di ruangan, aku heboh sekali ketika melihat bayinya. Ekspresi yang sama ketika aku melihat Chansoo dulu. Hal ini membuat keinginanku memiliki bayi semakin besar. Tapi aku langsung menutup keinginan itu, tak ingin lagi berharap terlalu jauh.
“Chaesa-ah, kapan kau akan menyusul?” tanya Hyeon.
Aku terkejut dan tersedak ludahku sendiri, lantas kutatap Siwon memintanya membantu menjawab.
“Secepatnya, Hyeon-ah. Doakan saja…,” sahut Siwon menyelamatkanku.
Tak lama kami berada di sana. Aku sudah lelah sekali. Terlihat dari wajahku yang pucat. Jiwon menyuruhku pulang dan meminta Siwon untuk mengantarku. Kami pun pulang bersama, dan selama di perjalanan aku tertidur.
Mobil berhenti, Siwon memberitahu kalau kita sudah sampai dan segera keluar dengan wajah ceria ketika dilihatnya anak tetangga kami tengah melintas di depan mobil.
“Suyeong-ah,” panggilnya dan langsung menggendong balita berumur tiga tahun tersebut. “Sedang main apa?”
Aku keluar menghampiri mereka.
“Ingin punya? Makanya rajin membuat!” teriak abeonim dari teras rumah.
Siwon mendongak dan membungkuk hormat, kemudian menurunkan Suyeong membiarkannya melanjutkan bermain.
“Abeonim, annyeong haseyo,” sapaku.
Kulihat abeonim mengangguk dan melengos masuk ke dalam rumah. Sedangkan Siwon menarik lenganku mengajak masuk ke dalam seraya menggenggam erat tangan kananku.
Mianhanda,” katanya datar.
Aku mengerutkan dahiku bingung, “Untuk?”
“Aku tak menyentuhmu sama sekali.”
Aku tersenyum, “Kau sudah menyentuhku. Lihat?” ucapku sambil mengacungkan tangan kami yang bertaut.
Siwon tersenyum geli, “Chaesa-ah, aku akan berusaha.”
“Jangan dipaksakan!” Siwon melirikku heran, “Cinta tak akan tumbuh jika dijalani dengan paksaan.”
“Aku tetap akan berusaha. Jiwon pun bisa, masak aku tidak. Aku akan berusaha untuk mencintaimu. Aku berjanji padamu dan pada diriku sendiri.”
Senyum merekah di wajahku, “Yeobo, gomawoyo.”
__________
Studio Balet. Oktober 2009 – 09:45.
Handphoneku berbunyi, kurogoh isi tas untuk mengambilnya. Ekspresi wajahku berubah drastis saat melihat nama penelepon di layar hp.
Yoboseyo?” sapaku gugup.
“Chaesa-ah, sore ini jam tiga kita bertemu di kantor SM.”
Wae? Memangnya ada apa?”
“Apakah Choi Siwon tidak boleh mengajak istrinya makan malam?” tanyanya mengejutkanku.
Ne? Oh ya… tentu saja boleh. Tapi kenapa harus bertemu di sana?”
“Aku tak bisa menjemputmu. Jadi, kau yang menjemputku, oke?”
“Ha?? Oh mmm… Baiklah. Nanti aku ke sana.”
Gomawo. Sudah dulu ya. Masih ada beberapa scene yang harus kuselesaikan.”
“Ya, sampai jumpa nanti.”
Aku menutup teleponnya. Sesaat aku terdiam. Berusaha mencerna lagi apa yang baru saja terjadi, kemudian aku melompat memeluk Jiwon yang sedang sibuk menyortir beberapa formulir pendaftaran.
“Ah, Onnie. Sakit tahu!”
“Siwon mengajakku makan malam. Kyaaa~”
“Oh please deh, Onnie. Kukira ada apa. Jadi, apa yang akan Onnie lakukan sekarang? Ke salon?”
Nonono! Pertama-tama, antar aku beli gaun. Sekarang!!!”
Aku dan Jiwon memasuki butik-butik yang menjual berbagai macam gaun. Setelah berhasil mendapatkan yang kusuka, kami singgah ke salon untuk merawat tubuh kami yang sempat terlantar karena sibuk mengurus balet.
Jiwon menerima telepon dari Eunhyuk dan seketika wajahnya langsung pucat. Benar-benar membuatku khawatir. Dia tidak langsung memberitahuku. Dia lebih memilih menyelesaikan perawatannya dulu tanpa ekspresi sama sekali.
“Jiwon-ah, kau tak apa-apa?” tanyaku cemas.
Jiwon menatapku gugup lantas menggeleng pelan.
“Choi Jiwon, katakan padaku apa permasalahanmu! Aku tak suka melihatmu seperti ini,” semburku.
Jiwon menatapku lagi dan mulai membuka mulutnya, “Onnie… HYUK-OPPA MENGAJAKKU BERKUNJUNG KE RUMAHNYA!!!”
Aku melongo kaget, “Benarkah? Bagus kalau begitu. Kau akan dikenalkan pada keluarganya.”
“Aku gugup sekali. Sebentar lagi dia akan menjemputku. Aduh, Onnie, aku harus bagaimana?”
Aku mengerutkan dahi, “Aku tak bisa memberi saran dalam keadaan seperti ini. Bukan kau saja yang gugup. Aku pun sedang gugup.”
Tak lama kemudian Eunhyuk datang menjemput Jiwon, sedangkan aku menaiki taksi menuju SM. Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, tak tenang, dan luar biasa gugup. Aku sama sekali tak bisa menebak-nebak apa yang akan terjadi nanti. Dan mengapa dia melakukannya dengan tiba-tiba?
Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk kantor. Aku membayar tagihan argonya lalu masuk ke dalam. Beberapa karyawan memberi hormat dengan cara membungkuk tiap kali berpapasan denganku. Sedikit tak nyaman, tapi ini memang wajar. Aku istri Choi Siwon yang berarti menantu dari pengusaha besar, abeonimku.
“Shim Chaesa,” panggil Donghae saat dia keluar dari lift.
“Donghae-ah, kau lihat Siwon?”
“Siwon? Bukannya dia sudah pulang barusan? Kau tidak bertemu dengannya di depan? Dia pergi belum lama,” ujarnya.
“Dia pergi?” tanyaku lemas.
~Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi naneun micheo mwuheh holin nom. Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi naneun micheo mwuheh holin nom~
Hpku berbunyi.
“Chaesa-ah, mianhae. Aku ada urusan mendadak. Jadi kita tidak bisa bertemu di kantor. Begini saja… Kita bertemu di Dosan Park, ya. Lima belas menit lagi aku datang. Bye…”
Kututup teleponnya dan kupandang Donghae dengan kesal.
Wae?” tanya Donghae takut.
“Sahabatmu merepotkan sekali! Aku pergi. Bye…”
Hyaaa,biar kuantar.”
“Tidak perlu!”
Aku bergegas keluar. Siwon benar-benar keterlaluan! Masa aku diberi waktu hanya lima belas menit?! Memangnya dari sini ke sana dekat? Aish, anak itu benar-benar…
Kubuka pintu taksi dan berlari ke dalam Dosan Park. Aku tak ingin terlambat, aku tak ingin acara ini gagal.
“Chaesa-ah,” panggil Siwon dari seberang perosotan.
Aku menoleh mencari sosoknya, “Siwonnie!”
“Kenapa berlari? Kau hanya telat dua menit, kok. Kumaafkan…”
“Cih, kau ini. Mana boleh memperlakukanku seperti itu! Kau pikir SM dan Dosan Park itu dekat? Gara-gara ini aku harus membayar tiga kali lipat agar supirnya mau ngebut,” keluhku.
Siwon mendekat menghampiriku, “Kenapa sewot sekali?”
“Karena kau menyebalkan!”
“Bukankah menyenangkan jika memiliki suami yang menyebalkan?”
“Ha? Ungkapan macam apa itu? Bodoh sekali!”
Kini dia telah berada di hadapanku. Tanpa kuduga, dia menarik lenganku dan sejurus kemudian aku sudah berada dalam pelukannya. “Oh, ya Tuhan… Ternyata aku memiliki istri yang bawel.”
Aku berontak berusaha melepaskan pelukannya, ingin sekali kupukul dadanya yang bidang, namun ia bersikeras tak ingin melepaskanku.
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang aneh. Kali ini aku berhasil melepaskan diri dari pelukannya. Lalu kulihat dia dari ujung kepala sampai kaki. WHAT THE HELL…??!
“Jaket, t-shirt, celana jins pendek, sepatu kets???” gumamku syok.
“Kenapa?”
“Bukankah kita mau makan malam? Kemana tuxedomu?”
“Tuxedo?” Siwon mengernyit lantas mengangguk-angguk mengerti dan tertawa terbahak-bahak. Sempurna! Menyebalkan sekali. “Kau pikir kita akan makan malam di restoran?”
Aku mengangguk malu.
“Bukan. Itulah tujuan kita,” Siwon menunjuk ke sebuah pasar malam yang ramai dikunjungi banyak orang.
Mwo? Tapi gaunku…”
Siwon tertawa lagi. Karena kesal, kupukul saja dia dengan tasku. Dia meminta maaf dan segera melesat ke mobil mengambil sesuatu.
“Pakai ini,” pintanya.
“Sepatu kets? Dengan gaun seperti ini?”
Siwon mengangguk. Kubalik sepatunya untuk melihat ukurannya. “45?”
Siwon nyengir jahil. “Dari pada kau memakai high heels seperti itu. Aku tak ingin kakimu terinjak-injak. Sudahlah pakai saja sepatuku!”
Dengan pasrah akhirnya kupakai juga sepatunya. Sesekali kupergoki dia sedang menatapku. Lebih tepatnya, dia tak pernah berhenti menatapku. Ini membuatku sangat gugup.
Siwon menyerahkan sebuah kacamata besar padaku. Dia memintaku untuk memakainya, agar aku ikut menyamar seperti dia. Setelah semuanya siap, kami melenggang menuju keramaian.
Di pinggir-pinggir jalan terdapat beberapa stand makanan dan merchandise. Aku dan Siwon sesekali mendatangi beberapa stand dan membeli makanannya. “Chaesa-ah,” teriak Siwon. Aku berbalik dan mendapati sebuah boneka beruang besar berwarna putih tepat di depan hidungku.
HATTCCHIIII~~~
“Kau ini payah sekali,” ejeknya.
“Bulunya mengenai hidungku. Wajar kalau aku bersin!” kuambil alih bonekanya, “Ngomong-ngomong, adegan ini ada di dramamu yang mana, ya?”
Siwon menghentikan langkahnya, “Kau…tahu?”
“Aku punya semua dvd drama dan film-mu. Dan semuanya selalu kutonton berulang-ulang. Dialog bagianmu pun aku hafal. Kau melakukan hal seperti tadi, memberikan sebuah boneka beruang pada seorang gadis. Ehm… ehm… ‘Ini untukmu. Kelak jika aku sedang tak ada di sampingmu, peluklah dia dan ingatlah aku. Boneka ini akan menjadi penggantiku untuk menjagamu kala kau tidur. Jigeum-ah, saranghae’. Begitu kan dialognya?” tuturku.
Siwon tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau ini aneh sekali!”
“Apa aneh jika mencintai suami sendiri?”
Siwon tertegun sebentar lantas membuka mantel dan memakaikannya padaku. “Dingin. Kita pulang saja, ya. Kau sudah kenyang ‘kan?”
Aku mengangguk. Siwon mengalengkan lengan kirinya ke bahuku. Dirapatkannya tubuhku yang mulai menggigil ke tubuhnya. Kami berjalan menuju parkiran dan pulang.

To Be Continue ………

share by superdiya.wordpress.com

 


Tidak ada komentar: