^^Super Junior
FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^
[Part III]
Gangam Hospital. 7 bulan kemudian, Oktober 2009 – 16:01pm.
Aku tak memedulikan rambutku yang berantakan tertiup angin, atau
dadaku yang sesak karena hampir kehabisan napas. Tujuanku adalah secepatnya
sampai di ruang bersalin. Aku terpaksa berlari melalui tangga darurat menuju
lantai tujuh karena lift perlu mengantri, aku tak memiliki waktu untuk antri.
Di ujung lorong, di ruang tunggu, aku melihat banyak sekali
orang yang menunggu. Rata-rata bahasa tubuh mereka menunjukkan kalau mereka
sedang gelisah. Gelisah menunggu kelahiran sang bayi dan keselamatan si ibu.
Aku berjalan mendekati mereka semua. Dan aku merasa menyesal
telah datang. Di sana, di kursi paling ujung, kulihat Siwon dan Heebon tengah
berpegangan tangan dan sesekali Siwon merangkulnya. Aku tak bisa melakukan
apapun walaupun dia suamiku. Padahal ingin sekali kujambak rambut Heebon dan
menyeretnya untuk menjauhi suamiku. Tapi sekali lagi, aku teringat akan ucapan
Siwon kalau aku tak bisa berharap banyak darinya. Jadi aku hanya diam,
pura-pura tak melihat mereka.
“Chaesa-ah,” panggil Seera-onnie menghampiriku.
“Chaesa-ah,” panggil Seera-onnie menghampiriku.
“Onnie,” aku membungkuk, “Annyeong,
Chansoo-ah,” sapaku dan kugendong anak lelakinya.
“Dari mana saja kau? Kenapa baru datang?”
“Aku habis dari studio balet, ada sesuatu yang harus
kuselesaikan. Bagaimana keadaan Hyeon?”
“Hyeon-ah masih di dalam. Kabarnya belum pasti. Hangeng juga ada
di dalam menemaninya. Ah, beruntung sekali dia, melahirkan ditemani suaminya.”
Teuki-oppa mendengar apa yang baru saja Seera-onnie katakan. Dia
menghampiri kami dan mulai membela dirinya, “Kau masih saja membahasnya. Aku
kan sudah minta maaf. Supershow benar-benar tak dapat kuhindari. Lagipula dari
mana aku tahu kalau malamnya kau akan melahirkan?”
“Aku juga mana tahu akan melahirkan hari itu!!!” sewot
Seera-onnie tak mau kalah.
“Onnie, Oppa… Kumohon jangan bertengkar lagi!” pintaku.
Mereka berdua menunduk malu. Kukembalikan Chansoo pada eommanya
lalu berjalan menghampiri Donghae dan berdiri di sampingnya. Kulihat Jiwon
bersandar di dada Eunhyuk, lalu memanggil Siwon dan memelototinya. Aku sama
sekali tidak mengerti apa yang dia maksud. Namun yang pasti, sesekali Jiwon
menelengkan matanya ke arahku lalu ke Siwon lagi.
Siwon berdiri hendak menghampiriku. Saat mulutnya terbuka ingin
memanggilku, Hangeng-oppa keluar dari ruangan dan berteriak kalau anaknya sudah
lahir. Kami semua bersorak. Beberapa malah ada yang menangis. Dan yang
menyakitkan, aku melihat Heebon berlari menuju Siwon dan memeluknya dari
belakang. Siwon menatap mataku, aku yakin sekali dia menatap kedua mataku.
Namun dia tidak peduli dan lebih memilih berbalik meyambut pelukan Heebon.
Dadaku sesak. Ingin sekali rasanya aku berteriak dan menangis saat itu juga.
Aku benar-benar tak sanggup lagi berlama-lama di sana. Maka
kuputuskan untuk pergi. Aku memilih untuk menyendiri di kantin rumah sakit. Tak
terbayangkan rasanya di saat yang lain berbahagia, aku malah merasakan sakit
yang sangat dalam. Sepertinya ada sebuah lubang yang menganga lebar di dadaku.
Dan yang lebih memprihatinkan lagi, suamiku sama sekali tidak peduli akan
perasaan istrinya ini.
Kutarik kursinya yang merapat ke meja, lalu duduk di atasnya.
Kutenggelamkan wajahku ke dalam lipatan tangan. Bayang-bayang kejadian tadi
terus berkelebat di pikiranku, aku sama sekali tak dapat mengontrolnya. Aku
butuh seseorang yang dapat mengalihkan perhatianku!
“Boleh aku duduk di sini?”
Kudongakkan kepalaku, “Donghae-ah?! Tentu saja.”
Donghae menarik kursinya kemudian duduk. Lalu dia menatap
wajahku dengan serius. Tak lama kemudian pergi memesan minuman. Aku masih
tenggelam dengan pikiranku. Cho Heebon… Aku benar-benar ingin melemparnya ke
neraka!!!
“Jangan dipikirkan!” celetuk Donghae tiba-tiba.
Aku tersadar dari lamunan dan mengalihkan perhatianku padanya.
“Aku tahu kalau kau sedih melihat Siwon dan Heebon sedekat itu.”
“Mwo?
Ah, aniyo. Aku tak
memusingkan hal itu,” sahutku bohong.
“Jangan berkilah! Aku tahu kau sangat cemburu. Apalagi saat
melihat mereka berpelukan tadi. Jangan kau pikir aku tak melihat reaksimu. Aku
tahu hatimu sangat terluka.”
Aku menyerah mempertahankan gengsiku, “Lantas aku harus
bagaimana?”
Bukannya menjawab, dia malah menatapku balik.
“Donghae-ah, aku harus bagaimana?”
“Tahan pembicaraannya. Mereka ada di belakangmu.”
“Mwo?”
tanyaku bingung. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Siwon dan Heebon
berjalan menuju kantin. Wajah mereka sangat berseri-seri, membuatku iri
setengah mati.
“Annyeong haseyo,”
sapa Heebon cerah.
Aku mengangguk dan kulihat Donghae hanya nyengir. “Wah sayang
sekali kalian baru datang. Aku dan Chaesa baru saja berencana untuk kembali
menjenguk Hyeon. Kami duluan kalau begitu,” pamit Donghae yang langsung
menggamit tanganku.
“Tunggu,” potong Siwon dan melepaskan tanganku dan Donghae yang
saling bertaut, “Biar aku saja yang mengantarnya.”
“Oke,” ucap Donghae puas.
Kulihat Heebon ikut berjalan di belakang kami, namun Donghae
segera menarik tangannya dan menyuruhnya duduk di kursi. Selama perjalanan, aku
dan Siwon lebih banyak diam. Kami sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata
pun.
Setibanya di ruangan, aku heboh sekali ketika melihat bayinya.
Ekspresi yang sama ketika aku melihat Chansoo dulu. Hal ini membuat keinginanku
memiliki bayi semakin besar. Tapi aku langsung menutup keinginan itu, tak ingin
lagi berharap terlalu jauh.
“Chaesa-ah, kapan kau akan menyusul?” tanya Hyeon.
Aku terkejut dan tersedak ludahku sendiri, lantas kutatap Siwon
memintanya membantu menjawab.
“Secepatnya, Hyeon-ah. Doakan saja…,” sahut Siwon
menyelamatkanku.
Tak lama kami berada di sana. Aku sudah lelah sekali. Terlihat
dari wajahku yang pucat. Jiwon menyuruhku pulang dan meminta Siwon untuk
mengantarku. Kami pun pulang bersama, dan selama di perjalanan aku tertidur.
Mobil berhenti, Siwon memberitahu kalau kita sudah sampai dan segera
keluar dengan wajah ceria ketika dilihatnya anak tetangga kami tengah melintas
di depan mobil.
“Suyeong-ah,” panggilnya dan langsung menggendong balita berumur
tiga tahun tersebut. “Sedang main apa?”
Aku keluar menghampiri mereka.
“Ingin punya? Makanya rajin membuat!” teriak abeonim dari teras
rumah.
Siwon mendongak dan membungkuk hormat, kemudian menurunkan
Suyeong membiarkannya melanjutkan bermain.
“Abeonim, annyeong
haseyo,” sapaku.
Kulihat abeonim mengangguk dan melengos masuk ke dalam rumah.
Sedangkan Siwon menarik lenganku mengajak masuk ke dalam seraya menggenggam
erat tangan kananku.
“Mianhanda,”
katanya datar.
Aku mengerutkan dahiku bingung, “Untuk?”
“Aku tak menyentuhmu sama sekali.”
Aku tersenyum, “Kau sudah menyentuhku. Lihat?” ucapku sambil
mengacungkan tangan kami yang bertaut.
Siwon tersenyum geli, “Chaesa-ah, aku akan berusaha.”
“Jangan dipaksakan!” Siwon melirikku heran, “Cinta tak akan
tumbuh jika dijalani dengan paksaan.”
“Aku tetap akan berusaha. Jiwon pun bisa, masak aku tidak. Aku
akan berusaha untuk mencintaimu. Aku berjanji padamu dan pada diriku sendiri.”
Senyum merekah di wajahku, “Yeobo, gomawoyo.”
__________
Studio Balet. Oktober 2009 – 09:45.
Handphoneku berbunyi, kurogoh isi tas untuk mengambilnya. Ekspresi
wajahku berubah drastis saat melihat nama penelepon di layar hp.
“Yoboseyo?”
sapaku gugup.
“Chaesa-ah, sore ini jam tiga kita bertemu di kantor SM.”
“Wae?
Memangnya ada apa?”
“Apakah Choi Siwon tidak boleh mengajak istrinya makan malam?” tanyanya mengejutkanku.
“Ne?
Oh ya… tentu saja boleh. Tapi kenapa harus bertemu di sana?”
“Aku tak bisa menjemputmu. Jadi, kau yang menjemputku, oke?”
“Ha?? Oh mmm… Baiklah. Nanti aku ke sana.”
“Gomawo. Sudah dulu
ya. Masih ada beberapa scene
yang harus kuselesaikan.”
“Ya, sampai jumpa nanti.”
Aku menutup teleponnya. Sesaat aku terdiam. Berusaha mencerna
lagi apa yang baru saja terjadi, kemudian aku melompat memeluk Jiwon yang
sedang sibuk menyortir beberapa formulir pendaftaran.
“Ah, Onnie. Sakit tahu!”
“Siwon mengajakku makan malam. Kyaaa~”
“Oh please deh,
Onnie. Kukira ada apa. Jadi, apa yang akan Onnie lakukan sekarang? Ke salon?”
“Nonono!
Pertama-tama, antar aku beli gaun. Sekarang!!!”
Aku dan Jiwon memasuki butik-butik yang menjual berbagai macam
gaun. Setelah berhasil mendapatkan yang kusuka, kami singgah ke salon untuk
merawat tubuh kami yang sempat terlantar karena sibuk mengurus balet.
Jiwon menerima telepon dari Eunhyuk dan seketika wajahnya
langsung pucat. Benar-benar membuatku khawatir. Dia tidak langsung
memberitahuku. Dia lebih memilih menyelesaikan perawatannya dulu tanpa ekspresi
sama sekali.
“Jiwon-ah, kau tak apa-apa?” tanyaku cemas.
Jiwon menatapku gugup lantas menggeleng pelan.
“Choi Jiwon, katakan padaku apa permasalahanmu! Aku tak suka
melihatmu seperti ini,” semburku.
Jiwon menatapku lagi dan mulai membuka mulutnya, “Onnie…
HYUK-OPPA MENGAJAKKU BERKUNJUNG KE RUMAHNYA!!!”
Aku melongo kaget, “Benarkah? Bagus kalau begitu. Kau akan
dikenalkan pada keluarganya.”
“Aku gugup sekali. Sebentar lagi dia akan menjemputku. Aduh,
Onnie, aku harus bagaimana?”
Aku mengerutkan dahi, “Aku tak bisa memberi saran dalam keadaan
seperti ini. Bukan kau saja yang gugup. Aku pun sedang gugup.”
Tak lama kemudian Eunhyuk datang menjemput Jiwon, sedangkan aku
menaiki taksi menuju SM. Sepanjang perjalanan pikiranku kacau, tak tenang, dan
luar biasa gugup. Aku sama sekali tak bisa menebak-nebak apa yang akan terjadi
nanti. Dan mengapa dia melakukannya dengan tiba-tiba?
Taksi berhenti tepat di depan pintu masuk kantor. Aku membayar
tagihan argonya lalu masuk ke dalam. Beberapa karyawan memberi hormat dengan
cara membungkuk tiap kali berpapasan denganku. Sedikit tak nyaman, tapi ini
memang wajar. Aku istri Choi Siwon yang berarti menantu dari pengusaha besar,
abeonimku.
“Shim Chaesa,” panggil Donghae saat dia keluar dari lift.
“Donghae-ah, kau lihat Siwon?”
“Siwon? Bukannya dia sudah pulang barusan? Kau tidak bertemu
dengannya di depan? Dia pergi belum lama,” ujarnya.
“Dia pergi?” tanyaku lemas.
~Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi naneun
micheo mwuheh holin nom. Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi
naneun micheo mwuheh holin nom~
Hpku berbunyi.
“Chaesa-ah, mianhae. Aku ada
urusan mendadak. Jadi kita tidak bisa bertemu di kantor. Begini saja… Kita
bertemu di Dosan Park, ya. Lima belas menit lagi aku datang. Bye…”
Kututup teleponnya dan kupandang Donghae dengan kesal.
“Wae?”
tanya Donghae takut.
“Sahabatmu merepotkan sekali! Aku pergi. Bye…”
“Hyaaa,biar
kuantar.”
“Tidak perlu!”
Aku bergegas keluar. Siwon benar-benar keterlaluan! Masa aku
diberi waktu hanya lima belas menit?! Memangnya dari sini ke sana dekat? Aish,
anak itu benar-benar…
Kubuka pintu taksi dan berlari ke dalam Dosan Park. Aku tak
ingin terlambat, aku tak ingin acara ini gagal.
“Chaesa-ah,” panggil Siwon dari seberang perosotan.
Aku menoleh mencari sosoknya, “Siwonnie!”
“Kenapa berlari? Kau hanya telat dua menit, kok. Kumaafkan…”
“Cih, kau ini. Mana boleh memperlakukanku seperti itu! Kau pikir
SM dan Dosan Park itu dekat? Gara-gara ini aku harus membayar tiga kali lipat
agar supirnya mau ngebut,” keluhku.
Siwon mendekat menghampiriku, “Kenapa sewot sekali?”
“Karena kau menyebalkan!”
“Bukankah menyenangkan jika memiliki suami yang menyebalkan?”
“Ha? Ungkapan macam apa itu? Bodoh sekali!”
Kini dia telah berada di hadapanku. Tanpa kuduga, dia menarik
lenganku dan sejurus kemudian aku sudah berada dalam pelukannya. “Oh, ya Tuhan…
Ternyata aku memiliki istri yang bawel.”
Aku berontak berusaha melepaskan pelukannya, ingin sekali
kupukul dadanya yang bidang, namun ia bersikeras tak ingin melepaskanku.
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang aneh. Kali ini aku berhasil
melepaskan diri dari pelukannya. Lalu kulihat dia dari ujung kepala sampai kaki.
WHAT THE HELL…??!
“Jaket, t-shirt, celana jins pendek, sepatu kets???” gumamku
syok.
“Kenapa?”
“Bukankah kita mau makan malam? Kemana tuxedomu?”
“Tuxedo?” Siwon mengernyit lantas mengangguk-angguk mengerti dan
tertawa terbahak-bahak. Sempurna! Menyebalkan sekali. “Kau pikir kita akan
makan malam di restoran?”
Aku mengangguk malu.
“Bukan. Itulah tujuan kita,” Siwon menunjuk ke sebuah pasar
malam yang ramai dikunjungi banyak orang.
“Mwo?
Tapi gaunku…”
Siwon tertawa lagi. Karena kesal, kupukul saja dia dengan tasku.
Dia meminta maaf dan segera melesat ke mobil mengambil sesuatu.
“Pakai ini,” pintanya.
“Sepatu kets? Dengan gaun seperti ini?”
Siwon mengangguk. Kubalik sepatunya untuk melihat ukurannya.
“45?”
Siwon nyengir jahil. “Dari pada kau memakai high heels seperti itu. Aku tak
ingin kakimu terinjak-injak. Sudahlah pakai saja sepatuku!”
Dengan pasrah akhirnya kupakai juga sepatunya. Sesekali
kupergoki dia sedang menatapku. Lebih tepatnya, dia tak pernah berhenti
menatapku. Ini membuatku sangat gugup.
Siwon menyerahkan sebuah kacamata besar padaku. Dia memintaku
untuk memakainya, agar aku ikut menyamar seperti dia. Setelah semuanya siap,
kami melenggang menuju keramaian.
Di pinggir-pinggir jalan terdapat beberapa stand makanan dan merchandise. Aku dan Siwon
sesekali mendatangi beberapa stand dan membeli makanannya. “Chaesa-ah,” teriak
Siwon. Aku berbalik dan mendapati sebuah boneka beruang besar berwarna putih
tepat di depan hidungku.
HATTCCHIIII~~~
“Kau ini payah sekali,” ejeknya.
“Bulunya mengenai hidungku. Wajar kalau aku bersin!” kuambil
alih bonekanya, “Ngomong-ngomong, adegan ini ada di dramamu yang mana, ya?”
Siwon menghentikan langkahnya, “Kau…tahu?”
“Aku punya semua dvd drama dan film-mu. Dan semuanya selalu
kutonton berulang-ulang. Dialog bagianmu pun aku hafal. Kau melakukan hal
seperti tadi, memberikan sebuah boneka beruang pada seorang gadis. Ehm… ehm…
‘Ini untukmu. Kelak jika aku sedang tak ada di sampingmu, peluklah dia dan
ingatlah aku. Boneka ini akan menjadi penggantiku untuk menjagamu kala kau
tidur. Jigeum-ah, saranghae’.
Begitu kan dialognya?” tuturku.
Siwon tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau ini
aneh sekali!”
“Apa aneh jika mencintai suami sendiri?”
Siwon tertegun sebentar lantas membuka mantel dan memakaikannya
padaku. “Dingin. Kita pulang saja, ya. Kau sudah kenyang ‘kan?”
Aku mengangguk. Siwon mengalengkan lengan kirinya ke bahuku.
Dirapatkannya tubuhku yang mulai menggigil ke tubuhnya. Kami berjalan menuju
parkiran dan pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar