^^Super Junior
FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^
[Part IX]” (Last Part)
AKU demam. Entah karena syok melihat Siwon bermesraan dengan
wanita lain atau karena pernyataan cinta Donghae. Sudah empat hari ini aku
menginap di villa milik harabuchi. Sendirian ketika sakit membuatku benar-benar
menderita. Mungkin semua orang sedang kalang kabut mencariku, terutama Donghae.
Tadi saat mengaktifkan hp, Donghae lebih banyak menelepon dan mengirimiku sms
ketimbang Siwon.
Sebelum kemari, aku mengirimkan dokumen gugatan ceraiku pada
Siwon. Pilihanku mantap dan aku mulai memikirkan tawaran Donghae. Dia benar,
aku masih mempunyai pilihan. Percuma saja jika melanjutkan hidup bersama orang
yang dicintai tetapi hanya membuatku menderita. Toh, jika aku memilih untuk
hidup bersama Donghae, lambat laun cinta akan tumbuh kan seiring dengan
kebersamaan?
Kutekan nomor Donghae dan memanggilnya. “Yoboseyo? CHAESA-YA…,” sapanya
sangat antusias.
“Aigoo, telingaku. Donghae-ya, aku sakit. Datanglah ke tempatku,
aku akan mengirimkan alamatnya lewat sms. Oke? Sampai jumpa…”
Kuletakkan punggung tanganku ke pipi. Masih panas. Setelah
diukur thermometer, panasku masih berkisar antara 38 derajat celcius. Aku hanya
bisa memandangi langit-langit kamar. Dari kemarin kerjaanku hanya tidur. Lee
Donghae, cepatlah datang!
“Chogiyo,” sapa seseorang di luar. Dengan susah payah aku bangkit. Ketika sampai di luar, kulihat Donghae tengah tersenyum riang sambil menjinjing beberapa kantong plastik. “Annyeong haseyo, calon janda.”
“Chogiyo,” sapa seseorang di luar. Dengan susah payah aku bangkit. Ketika sampai di luar, kulihat Donghae tengah tersenyum riang sambil menjinjing beberapa kantong plastik. “Annyeong haseyo, calon janda.”
“Hyaaa! Kurang ajar sekali. Berita itu sudah menyebar?”
Donghae menggeleng, “Baru aku saja yang tahu. Hey, setidaknya
persilakan aku masuk dulu. Bawaan ini berat sekali.”
Aku menyuruhnya masuk dan buru-buru menyerbu makanan yang
dibawanya. Melihatku kesetanan seperti itu, Donghae tertawa geli.
“Aku makan dua hari yang lalu. Itu pun cuma ramyun. Dua hari
kemarin perutku mual sama sekali tak bisa makan. Sekarang aku baik-baik saja,
hanya tinggal suhu tubuh yang belum mau turun.”
“Habis makan kuantar ke dokter. Jangan menolak!” bubuhnya
buru-buru ketika melihatku hendak membuka mulut menolaknya. “Mmm… Siwon, dia
sangat bekerja keras untuk filmnya akhir-akhir ini. Tapi menurutku dia terlalu
memaksakan.”
“Ganti topik!”
“Kemarin malam dia mendatangiku dan berlutut memintaku untuk memberitahu
kau berada di mana. Aku tak bisa membantunya karena aku tak tahu.”
“Jadi setelah kau tahu langsung memberitahukannya?”
“Ani,
aku langsung kemari setelah menerima smsmu. Makanan ini harusnya milik Super
Junior. Tapi karena buru-buru, aku bawa saja semuanya ke sini dan…astaga,
Chaesa kau menghabiskan berapa kotak? Kau habiskan setengahnya?”
“Wae?
Aku lapar!”
“Kau kesurupan!”
“Jangan beritahu Siwon kalau aku ada di sini! Keputusanku sudah
bulat untuk bercerai darinya dan mulai memikirkan tawaranmu.”
“Benarkah?” pekiknya. “Ah, tapi kenapa rasanya aku tak senang
ya?”
“Ne?
Ya sudah, aku akan cari pria lain!” teriakku.
Donghae menutup telinganya, “Bisa tidak bicara dengan volume
rendah? Chaesa-ya, kau ini kenapa?”
“Molla.
Dari kemarin aku hanya nangis, marah, apalagi setelah melihat timbangan berat
badanku yang naik drastis. Aku kesal.”
“Bagaimana tidak naik, kau makan sebanyak ini.”
“Tapi kemarin aku hanya makan ramyun!”
Donghae menutup telinganya lagi.
—
Gangnam Hospital – 02:00PM.
“Aku hanya demam biasa, kenapa harus ditest darah segala?”
protesku kemudian menunduk dan mendapati gundukan lemak berlebih di perutku.
“Aigoo, Hikka, pantas saja akhir-akhir ini aku merasa sesak. Mana timbangan
badan?”
Aku menimbang berat badanku dan syok mendapati angka digitalnya
yang terus merangkak naik hingga berhenti di angka lima puluh delapan.
“Kau akhir-akhir ini makan banyak sekali ya?”
Aku menghempaskan diri ke kursi. “Aisshhh, naik delapan kilo.
Ya, karena terlalu stress, jadi aku banyak memakan coklat juga makanan manis
lainnya.”
“Kau pikir itu dapat menyelesaikan masalahmu?”
“Kalau begini, nanti akan ada banyak rumor beredar yang
mengatakan aku berpisah dengan Siwon karena dia sudah tak menginginkan diriku
yang gemuk…”
“Ngaco!” protes Hikka. “Kau benar ingin berpisah dengannya? Kau
tak sedih?”
“Mmm…,” aku mengangguk, “…aku sedih stadium akhir. Alih-alih
ingin mempertahankan malah melepasnya. Aku bodoh!”
Seorang perawat masuk ke dalam ruangan dan menyerahkan hasil
laboratoriumnya pada Hikka sedangkan aku masih menggores-gores iseng pena ke
kertas salinan resep. Dan berkali-kali mendesah menarik napas berat. Hatiku
sakit sekali jika memikirkan Siwon.
“Ne,
kau memang bodoh. Sangat bodoh!”
Aku mendongak, “Aigoo… Kau ini sebenarnya memihak siapa?”
“Tarik gugatan ceraimu, jangan datang ke persidangan!”
Aku mengerutkan alis tak mengerti. Bukankah dia selalu mendukung
apa keputusanku? “Hyaa, Hikka-ya, kalau kau menyuruhku rujuk dengan Siwon hanya
karena dia orang kaya dan artis, aku takkan menemuimu lagi.”
“Kau pikir aku sehina itu? Lihat ini!”
“Ige mwoya?”
kuraih kertas hasil lab-nya dan mulai membaca. De javu! Ini pernah terjadi
sebelumnya. Langsung saja kulewati bagian tabel yang tak kumengerti menuju dua
kata paling bawah bercetak tebal bertuliskan: POSITIF HAMIL. Aku menggelengkan kepalaku.
“Tak mungkin. Kami baru melakukannya sekali saat pertengahan Juli kemarin, mana
mungkin bisa langsung jadi?”
“Bukankah yang dulu juga baru sekali?”
“Tapi aku baru saja keguguran, kenapa bisa medapat pengganti
secepat ini? Bukankah wanita yang keguguran itu membutuhkan waktu sedikit lebih
lama untuk mendapatkan lagi momongan?”
“Hyaaa, Shim Chaesa, ini namanya mukjizat! Pokoknya dengarkan
saranku, kau harus mencabut gugatan ceraimu! Bayi ini membutuhkan seorang
ayah.”
Aku bangkit dan menyambar tasku, “Aku punya Donghae. Jadi tak
masalah.”
“Astaga, dasar idiot! Kau tidak mencintainya, kau hanya
menganggapnya teman. Bahkan jantungmu saja tak pernah berdetak jika berada di
dekatnya, hatimu dingin dan hanya Siwon yang bisa membuatmu terbakar. Aigoo,
bicara apa aku ini.” Hikka memukul-mukul kepalanya.
Aku segera pergi dari sana. Menggeser pintu dan Donghae yang
sedang menunggu di luar langsung menghambur ke arahku dan memberondongku dengan
berbagai pertanyaan. “Gwaenchana,
aku hanya demam biasa,” sahutku. Sebaiknya aku merahasiakan hal ini dulu.
Donghae melingkarkan lengannya di pinggulku dan menuntunku
berjalan. Saat sedang menunggu pintu lift terbuka, dari arah kiri kulihat
Heebon dan Siwon yang menjinjing sebuah tas. Rupanya Heebon baru keluar dari
rumah sakit. Kulirik Siwon, dia berbalik menatapku nanar. Oh tidak, hentikan
memandangiku seperti itu. Jangan buat aku sulit untuk melepasmu!
“Donghae-oppa, Chaesa-eonni, annyeong haseyo,” sapa Heebon.
“Heebon-ah, kau pulang hari ini?” tanya Donghae dan Heebon
mengangguk.
Siwon tak mengalihkan tatapannya, begitu pula denganku. Kudekap
dokumen hasil lab-nya lebih erat. Ingin sekali berteriak kalau sekarang aku
sedang mengandung anaknya, lagi.
Donghae mengeratkan pelukannya pada pinggangku. Siwon mengalihkan
pandangannya dari mataku ke tangan Donghae. Tersirat ekspresi tak rela dari
sorotannya, aku tahu itu. Donghae menurunkan kepalanya, kemudian menempelkan
bibirnya ke pelipisku dengan lembut, penuh rasa sayang. Aku terkejut. Astaga,
ini tempat umum. Mudah-mudahan tak ada yang melihatnya. Tapi… Kulihat Siwon
terlihat marah, rahangnya mengeras, dan tangan kanannya sudah terkepal. Dia
memandang marah Donghae yang memasang wajah santai memperhatikan angka-angka
yang menghitung mundur di atas pintu lift. Siwon memejamkan matanya sejenak
meredam amarah, kemudian menghela napas dan kembali menatapku.
“Chaesa-ya, kau sakit?” tanyanya, ada ekspresi cemas di wajahnya
saat menemukan wajahku yang pucat.
TING! Kedua lift terbuka. Donghae menarikku untuk masuk ke lift
sebelah kanan dan pamit pada mereka sedangkan Heebon menarik Siwon ke lift
kiri. Tatapan kami tak pernah terlepas kecuali saat pintu lift menutup. Siwon,
aku merindukannya. Sangat merindukannya.
Aku mengeluarkan hp dari tasku lalu mengaktifkannya. Tak berapa
lama, sebuah pesan masuk. Kulihat siapa pengirimnya dan di sana tertulis nama
Siwon. Kupindahkan pandanganku ke deretan huruf-huruf di bawahnya: “Kumohon jangan pergi seperti ini!”
—
Villa – 11:15PM
PERKATAAN Hikka tadi siang masih berputar di kepalaku. Dia
benar, aku tak pernah mencintai Donghae. Aku hanya merasa nyaman jika berada di
dekatnya dan itulah yang disebut dengan sahabat. Ya, sahabat.
Lalu apa maksud dari pesan Siwon? ‘Jangan pergi seperti ini!’…
Ahhh, molla…
Kurobek bungkus vitamin dan menyeruputnya hingga habis.
Sendirian di sini tak enak. Apa aku harus memanggil Jiwon? Aku rindu sekali
anak nakal itu. Kutinggalkan pantry dan berjalan menuju kamar untuk mengambil
hp dan mengaktifkannya. Kukirimkan alamat villa ini melalui sms. Aku butuh
teman.
Setengah jam kemudian sebuah mobil meluncur di halaman villa.
Aku membuka pintu bersiap untuk memeluk dongsaeng nakalku. Dari dalam mobil
terdengar keributan lalu Jiwon dan Eunhyuk keluar dan berlari menghambur ke
arahku.
“Eonni,” pekik Jiwon dengan air mata merembes. Sedangkan Eunhyuk
hanya tersenyum sambil mengacak-acak rambutku.
“Tiap hari aku lewat kemari untuk filming, sama sekali tak
menyangka kau bersembunyi di sini,” ujar Hyuk.
“Ayo, masuk! Huaaa, aku rindu kalian…”
“Eonni, jamkanman-yo!
Masih ada orang di belakang.”
“Nugu?”
Kuperhatikan mobilnya dan orang yang dimaksud Jiwon keluar. Itu
Siwon, aku bisa mengenalinya dalam kondisi minim cahaya sekalipun seperti saat
ini. Dia berjalan mendekati kami. Jiwon melepaskan pelukannya padaku dan
menarik Hyuk masuk ke dalam meninggalkan kami. Kutatap lekat-lekat wajah calon
mantan suamiku, melanjutkan tatapanku tadi siang. Mungkin saja ini untuk yang
terakhir kali. Begitupula dengannya yang tak mengalihkan pandangannya dari
kedua mataku.
Dia berjalan selangkah demi selangkah hingga akhirnya kami hanya
dipisahkan jarak sekitar satu meter. Mimik wajahnya sangat serius, terlalu
serius bahkan. Kedua alisnya bertaut. Aku tak dapat menyimpulkan itu ekspresi
apa.
Kulepaskan tatapanku dan mengalihkannya membuang muka. Lalu aku
berbalik untuk masuk ke dalam, namun dia memelukku dari belakang.
“Dia bilang itu yang terakhir kalinya. Makanya aku mau. Dia
mengajukan syarat agar aku menciumnya untuk yang terakhir kali sebelum dia
melepasku. Chaesa-ya, kumohon percayalah padaku. Aku melakukan itu agar bisa
terlepas darinya.”
“Terlepas? Bukankah kau mencintainya? Cukup, aku tak mau
mendengarnya lagi. Silakan tinggalkan tempat ini!”
“Chaesa-ya…”
“Choi Siwon, kau sudah benar-benar menyakitiku. Dan kau tak
pernah berhenti melakukan itu. Kadang kau bersikap baik membuat perasaanku
melambung, tapi tak lama kemudian menjatuhkannya dengan keras. Kau tak pernah
mencoba memahami perasaanku. Kau selalu melakukan hal sesukamu dan tak pernah
memikirkan bagaimana aku. Aku tidak seharusnya mengenalmu. Kau sudah
menandatangani dokumen yang kukirimkan? Sampai jumpa di persidangan. Sudah
malam, sebaiknya kau pulang!”
Aku melepaskan tangan Siwon yang melingkar di perutku. Air mata yang
sedari tadi kutahan akhirnya merembes juga. Astaga, anakku maafkan eomma!
“Eonni,” jerit Jiwon dari dalam, kulihat dia mengacung-acungkan
sesuatu. “Eonni, kau hamil lagi. Iya kan?”
DEG! Aku lupa belum menyimpannya.
Hyuk juga ikut berlari menghampiri kami. “Aku juga menemukan
ini,” dia mengacungkan beberapa kantung vitamin khusus untuk kandungan yang
tadi kuminum.
“Me-mengandung? Anakku?” tanya Siwon.
“Tidak.”
“Apa maksudmu tidak? Kau jelas mengandung anakku lagi.”
“Pergilah! Aku tak membutuhkanmu,” aku buru-buru masuk ke dalam
dan menutup pintunya. Siwon berusaha menahan agar pintunya tak menutup. Kuminta
bantuan Hyukkie agar ia mau membantuku menutupnya. Berhasil, pintu tertutup
rapat. Kukunci dan masuk ke dalam.
“Eonni,” panggil Jiwon, terselip rasa khawatir di nada suaranya.
“Suhu malam ini minus…”
“Aku tak peduli!” hardikku.
Kudengar Siwon berteriak-teriak di luar, “Chaesa-ya, ada yang
ingin kubicarakan padamu. Buka pintunya, kumohon!”
“Shiro!!!”
teriakku balik.
“Baiklah. Aku akan menunggumu di sini sampai kau keluar
menemuiku.”
“Jangan bodoh! Aku takkan pernah menemuimu lagi.” Aku duduk di
sofa ruang tengah dan menyalakan TV dengan volume yang besar.
Hyukkie beserta Jiwon sibuk mondar-mandir dari ruang tengah ke
ruangan depan hanya untuk mengintip Siwon dari jendela. Kupindahkan channel TV
dan muncul berita yang mengatakan kalau malam ini suhu akan semakin menurun.
Kupindahkan lagi channelnya. Kulirik Jiwon tak henti-hentinya menggumam ‘oppa’
sambil memelototi Hyukkie menyuruhnya untuk mengecek keadaan Siwon.
Setelah beberapa jam aku masih mempertahankan pendirianku, Jiwon
berjalan menghampiriku dan menyerahkan sesuatu. “Eonni, tolong baca ini!”
Tak kualihkan pandanganku dari TV. Jiwon masih terus memaksa.
“Eonni, sekarang aku pasrah jika memang eonni menginginkan jalan
cerai. Tapi, sebelum itu semua terjadi, kumohon bacalah ini!”
Kulirik bendanya, sebuah buku bersampul kulit usang yang pernah
kubaca sebelumnya. Itu buku diari Siwon. Aku mulai tertarik dan membaca halaman
terakhir seperti yang diinstruksikan Jiwon.
25 Mei 2010…
Malam ini kami tak bersama. Dia membenciku karena telah
menghilangkan hartanya yang paling berharga. Tidak, bukan hanya miliknya, tapi
juga milikku. Janin itu milik kami. Lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Kali ini
kesabarannya telah berakhir. Dia pergi kembali ke rumahnya, dan aku ikut keluar
dari rumah hanya karena ingin menyembunyikan kebenaran dari keluargaku. Aku
sangat menyayangi eomma, ingin melindunginya. Tapi di sisi lain aku juga pasti
akan menyakiti istriku, Shim Chaesa.
Andai ia tahu, kalau aku juga tak ingin memilih jalan seperti
ini. Sekarang aku sudah mengerti semuanya. Cinta yang diberikannya padaku
sangat tulus. Betapa bodohnya aku baru menyadarinya sekarang. Aku memang pantas
dihukum. Jika Tuhan memberikanku kesempatan lagi, akan kukatakan padanya kalau
aku ingin dia ada di sisiku.
Kuulang-ulang kalimat
terakhir. Kulihat tanggal ia menulis. Persis ketika aku minggat ke rumahku yang
dulu setelah aku keguguran. Tak boleh seperti ini. Aku bodoh!
Aku bangkit dari sofa dan mengambil mantel. Berjalan ke ruang
depan dan mengintip melalui jendela. Tak ada siapapun di luar sana. “Mana
Siwon?” tanyaku.
“Dibawa ke rumah sakit oleh Hyukkie-oppa. Keadaannya sangat
gawat. Siwon-oppa hampir membeku,” ujarnya sambil menangis.
Kusambar kunci mobil dari meja dan menarik Jiwon untuk
mengikutiku. Astaga, istri macam apa aku yang tega membuat suamiku seperti itu?
Saat membuka pintu, Donghae berdiri di sana menenteng kantong
plastik berisi kotak-kotak makanan. “Annyeong,”
sapanya riang.
“Donghae-ya?!” pekikku terkejut. “Mianhae, aku harus pergi.”
“Ke-kemana?” tanyanya bingung. Dia melirik Jiwon yang berdiri di
sampingku. “Oh, Siwon?”
Nada suaranya menurun. Kentara sekali dia kecewa. Astaga,
Donghae, sungguh maafkan aku! Dia tersenyum pahit, aku bisa melihatnya. Dan dia
memberi kami jalan.
“Mianhae!”
“Kupikir kau hanya akan melihatku,” gumamnya tercekat.
“Cheongmal
mianhaeyo,” aku membungkuk padanya. Air mataku meleleh, kali ini
karena aku sudah menyakiti sahabatku ini. Perasaan bersalahku bertambah dua
kali lipat.
“Eonni,” panggil Jiwon.
“Aku harus pergi. Mianhaeyo…”
Aku berlari menuju mobil lalu menghidupkan mesinnya. Kulihat
Donghae masih berdiri di sana. Kepalanya terus menunduk. Semoga dia tak
menangis…
—
KUJATUHKAN pelukanku padanya. Siwon kini tengah berbaring tak
sadarkan diri. Beberapa kabel dari alat pemanas menempel di tubuhnya. Lima
lapis selimut tebal menyelimutinya. Wajahnya pucat, bibirnya keunguan,
ekspresinya terlihat sangat menderita. Kubelai rambutnya dan menyeka keringat
yang mulai timbul di wajahnya. Sepertinya tubuhnya sudah cukup hangat.
Mereka semua membiarkanku sendirian di ruangan ini menjaga
Siwon. Walaupun kondisinya seperti ini, niat bulatku untuk bercerai darinya
takkan goyah. Aku benar-benar ingin berpisah dengannya. Tak ada gunanya kan
hidup bersama orang yang tak mencintai kita? Ya, aku menyerah sekarang.
Menyerah akan kekerasan hati Siwon. Aku tak sanggup melihatnya dari waktu ke
waktu bersikap buruk terhadapku. Itu benar-benar meruntuhkan image pangerannya di mataku.
“Chaesa-ya…,” gumam Siwon dengan mata masih tertutup.
Kulepaskan pelukanku dan mulai menjaga jarak. Dia membuka
matanya. Rasanya ingin sekali aku memeluknya, meneriaki namanya sambil mengecup
keningnya. Sayang hal itu harus kutahan. Harga diriku lebih penting. Tak ada
gunanya melakukan hal tersebut pada pria yang tak mencintaiku.
“Sudah sadar?” tanyaku berusaha sedingin mungkin.
Dia menatapku nanar dengan mimik kesakitan. “Chaesa-ya…,”
gumamnya lagi, namun sekarang ia memaksakan diri untuk bangun dan mulai
menyingkap selimutnya satu per satu. Dia juga melepaskan kancing bajunya dan
mencopoti kabel-kabel yang menempel di perut dan dadanya. “Panas,” keluhnya.
Ya Tuhan, aku benar-benar ingin membantunya melepas pakaian. Dia
terlihat kerepotan melakukannya dengan satu tangan, karena tangan yang lain
dipasangi selang infuse.
“Chaesa-ya, panas…,” keluhnya lagi. Kini sambil menengadahkan
kepalanya ke atas. Kulihat keringat mulai bercucuran di lehernya. Aku menelan
ludah. Tidak! Dia terlalu seksi. Astaga, Chaesa, apa yang kau pikirkan? Ini
bukan saatnya!
Karena tak tega, akhirnya aku membantunya melepaskan pakaian.
Dia masih mengeluh walaupun kini otot dengan enam kotak yang berada di perutnya
terpampang indah. Kubantu dia menyingkirkan selimut dan kabel-kabel dari
kasurnya. Seprai sudah basah kuyup karena keringatnya. Siwon mulai
mengipas-ngipasi diri dengan tangannya yang bebas.
“Sepertinya kau sudah tak apa-apa, kupanggilkan yang lain untuk
menjagamu. Aku pulang, sampai jumpa di persidangan…”
“Jamkkanman!”
tahannya sambil menarik lenganku. “Kita harus bicara!”
“Tak ada yang harus dibicarakan. Semuanya sudah jelas. Kita akan
bercerai,” ujarku tegas. Kutarik tanganku berusaha melepaskan diri dan berjalan
menuju pintu keluar.
Siwon turun dari kasurnya dan kudengar dia merintih kesakitan.
Dia mengejarku dan memelukku dari belakang. Ini adalah senjata utamanya untuk
meluluhkan hatiku. Chaesa, bertahanlah! Ya Tuhan, aku ingin sekali berbalik dan
memeluknya. Andwae, andwae…
Kulepas paksa tangan Siwon yang melingkar di sekitar dadaku.
Setelah terlepas, aku buru-buru memegang gagang pintu untuk membukanya.
BRUK!
Aku berbalik dan menemukan Siwon tengah berlutut. Tangannya
bercucuran darah. Astaga, dia mencabut selang infusnya?!
“Chaesa-ya, mari kita berhenti menjadi orang bodoh. Mari kita
berhenti menyakiti diri sendiri! Bagaimana bisa ini berakhir? Aku mau hidup
bahagia. Kupikir aku bisa hidup dengan baik. Jika hal ini berakhir seperti
ini…ini menyedihkan. Kumohon ampuni aku! Aku belum menggoreskan apapun pada berkas
gugatan cerai itu. Kau masih istriku. Kita takkan pernah berpisah. Takkan
pernah. Aku…aku sangat mencintaimu. Kini kedua mataku hanya dapat melihatmu…”
Aku terpaku. Mulutku terbuka namun tak ada kata-kata yang keluar
dari sana. Lantas aku berjongkok menghampirinya yang menangis hebat dengan
tubuh berguncang. Kusuruh dia bangkit lantas memeluknya. “Katakan sekali lagi!
Katakan kalau kau mencintaiku, cepat katakan!”
“Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Amat mencintaimu.
Maafkan aku!” dia memelukku lebih erat tiap kata-kata itu ia ucapkan.
“Lagi, katakan lagi!”
“Shim Chaesa, saranghae.
Neomu neomu saranghae.”
Aku memeluknya lebih erat. Kami tak berhenti menangis. Siwon
menciumi kepalaku sedangkan aku mengusap-usap punggungnya. Ini malam bersejarah
bagi kami. Aku takkan pernah melupakannya. Akhirnya aku mendengarkan kata
‘cinta’ dari bibirnya untukku.
“Aku akan merawat kalian berdua sebaik mungkin. Aku akan
melindungi kalian. Takkan pernah kuulangi perbuatan bodohku yang dulu. Selama
ini aku hidup hanya untuk diriku sendiri, mulai dari sekarang aku hidup untukmu
dan anak kita,” ujar Siwon membuat tangis bahagiaku mengeras.
“Naddo saranghae.
Yongwonhi…”
—
Incheon Airport. Dec 2010 – 08:18AM.
PAGI ini aku dan hampir seluruh artis SM yang kebetulan sedang
menganggur berada di bandara Incheon untuk mengantarkan kepergian Angela untuk
melakukan debut di Amerika dan menetap di sana selama beberapa tahun.
Heebon menghampiriku dan memelukku erat. “Eonni, maafkan sikapku
dulu. Aku terlalu kekanakkan hingga menyusahkanmu. Maaf sudah membuat hidupmu
sangat menderita. Jaga kesehatanmu dan kandunganmu juga. Lahirkan keponakan
yang sehat untukku!”
“Ne,”
sahutku tersenyum gembira karena tak tahu harus berbicara apa. Ini pertama
kalinya kami berbicara semenjak beberapa bulan yang lalu. Heebon berbalik untuk
pergi namun aku menarik lengannya, “Maaf, aku muncul di antara kalian!”
Heebon menepuk tanganku, “Gwaenchana.”
Keempat member Angela, Heebon, Yuki, Rara, dan Young Mi berjalan
menjauh melambaikan tangan ke arah kami dan ratusan fans yang juga ikut
mengantar. Siwon merangkulku dan Donghae berdiri di sampingku.
“Aigoo, aku sendirian lagi dan jadi kambing conge!”
“Wae?”
tanyaku.
“Aku dan Rara baru saja berkencan dua minggu yang lalu. Susah
payah melupakanmu dan mendapatkan pacar, sekarang sudah ditinggal. Malangnya
nasibku!”
“Itu artinya kau harus segera melamarnya saat dia kembali.”
“Ah ya, ide bagus!”
—
April 2011…
USIA kandunganku kini sudah menginjak bulan kesembilan. Siwon
sangat telaten merawatku. Apapun yang kuminta pasti akan dikabulkannya,
termasuk piala penghargaan aktor terbaik. Entah kenapa aku ingin sekali memeluk
piala itu. Siwon sempat stress saat aku mengatakannya. Masalahnya, sangat tidak
mudah untuk mendapatkannya. Karena hal ini, dia lebih rajin mengikuti kelas
akting dan menyelesaikan filmnya lebih keras.
Tiket pertunjukan bioskop selalu sold out setiap hari. Banyak sekali orang yang
tertarik dan mengaku puas setelah menonton filmnya. Akting Siwon selalu
dipuji-puji di berbagai acara televisi. Filmnya ini menorehkan rekor dengan
jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah perfilman Korea.
Hari ini aku duduk di salah satu kursi kehormatan yang
dikelilingi berbagai aktris dan aktor muda sampai yang senior. Malam ini sebuah
acara paling bergengsi sedang digelar. Bagi mereka yang sudah didaulat menjadi
nominasi, pasti sedang merasakan panas dingin berharap nama mereka dipanggil
sebagai pemenang. Tak terkecuali suamiku, Siwon.
“Aigoo, pialanya indah,” pujiku riang saat melihat aktris senior
di kursi deretanku memenangkan kategori ‘Pemeran Pembantu Terbaik’.
“Chaesa-ya, peluk saja piala itu. Aku mintakan izin ya!” ujar
Siwon.
“Tak mau! Aku mau piala milikmu.”
“Astaga, aku benar-benar tak percaya diri untuk menang!”
“Jangan menyerah! Ayo terus berdoa!”
“Tapi, yang menang itu rata-rata aktor senior. Aktor muda yang
jam terbangnya lebih banyak dariku saja banyak yang tersisihkan.”
“Kalau begitu suamiku ini harus membuat rekor…”
Siwon menutup mulutnya dengan punggung tangan. “Chaesa, aku
benar-benar…”
“Kasihan sekali kau. Appamu tak mau menuruti permintaanmu,”
ujarku sembari mengelus-elus perut. Siwon melihatnya dan langsung memasang
wajah pasrah.
“Berdoa saja!”
Aku terkekeh. Acara sudah hampir berakhir. Tinggal dua kategori
lagi yang belum diumumkan, yakni ‘Aktor Terbaik’ dan ‘Film Terbaik Tahun 2011’.
Kulihat wajah Siwon sangat tenang, padahal tangannya sedari tadi menggenggam
erat tanganku karena tegang. Dia takut mengecewakanku jika tidak menang. Aihhh,
kenapa aku mengidam ingin memeluk piala milik Siwon? Ini sangat membebaninya.
Dua artis pembaca kategori berjalan ke tengah stage. Aku kenal salah satu
dari mereka, itu Heechul-oppa. Bisa saja dia masih terlihat cantik dengan
balutan jas mewah seperti itu. Kenapa juga dia tidak menua? Benar-benar membuat
iri.
“Aktor terbaik 2011, nominasinya adalah…,” ujar mereka
berbarengan yang disambung dengan potongan-potongan gambar aktornya. Ketika
wajah Siwon muncul, jantungku berdegup kencang. Bangga sekali.
Heechul-oppa membuka kertas yang direkat berisi nama pemenang.
Siwon semakin erat mencengkeram tanganku, berbanding terbalik dengan wajahnya
yang tenang. Mungkin malu jika tertangkap kamera dengan wajah penuh harap.
“Ah, aigoo…,” desah Heechul-oppa tak kuasa menahan senyumnya.
“Choi Siwon. Chukaehamnida.”
Siwon melepaskan genggamannya dan bangkit dari kursi. Aku ikut
berdiri untuk mengucapkan selamat dan memeluknya. Saat itu ratusan blitz kamera
menghujam ke arah kami. Karena malu, aku langsung melepaskan pelukanku dan
kembali duduk, sedangkan Siwon turun ke bawah menuju stage.
“Terima kasih Tuhan, seluruh kru film, Super Junior, SMTown, Lee
Soo Man-seonsaengnim, serta seluruh pihak yang telah bekerja keras kemarin.
Eomma, appa, Jiwon dan Eunhyukkie. Dan kepada istri yang paling kucintai,
Chaesa-ya, kaulah alasanku untuk dapat menyelesaikan film ini. Gomawo sudah merawatku. Piala
ini kupersembahkan untukmu dan calon bayi kita. Terima kasih semuanya.”
Siwon hendak turun dari stage,
namun Heechul-oppa menahannya karena ia yang harus mengumumkan pemenang
kategori film terbaik. Kulihat Siwon sedikit terkejut namun langsung menguasai
diri dan mengambil alih acara.
“Film terbaik 2011, nominasinya adalah…,” ujarnya.
Aku menundukkan kepalaku. Ada yang aneh dengan perutku. Rasanya
seperti sedang disilet-silet. Kutarik napas dalam-dalam berulang kali. Sakit
itu masih ada, bahkan semakin menjadi-jadi. Keringat sebesar biji jagung
bercucuran. Astaga, kurasa aku mau melahirkan. Siapa saja tolong aku! Ini luar
biasa sakit.
“Pemenang film terbaik tahun 2011 adalah…”
“SIWON!!!” teriakku lepas kendali. Semua kepala menoleh,
termasuk Siwon. Wartawan menjadikanku santapan kamera mereka. Ah, ini
memalukan! Posisi dudukku semakin menurun. Sakit sekali, napasku
tersengal-sengal.
Kulihat Siwon berlari menuju ke arahku. Heechul-oppa segera
mengambil alih acara dan menutupnya setelah mengumumkan bahwa film yang
dibintangi Siwon-lah yang menjadi pemenang. Siwon menghampiriku panik. Dia
hendak melemparkan pialanya karena sulit untuk menggendongku, namun aku
langsung meraih piala itu dan memeluknya. Dia menggendongku keluar dan
melarikanku ke rumah sakit.
Malam ini aku melahirkan ditemani Siwon di sampingku. Anak kami
lelaki. Siwon tak pernah mengalihkan pandangannya dari si bayi. Aku benar-benar
bahagia. Mimpiku untuk menjadi wanita sempurna dengan kehadiran buah hati di
antara kami terwujud. Tuhan menyayangiku. Tentu saja. Tuhan takkan melupakan
makhluknya yang selalu tabah. Kini usaha dan ketabahanku selama ini terbayar.
—
Ballroom Hotel. August 2011 – 07:06PM
MALAM ini Jiwon dan Eunhyuk menikah. Perlu waktu beberapa bulan
untuk meyakinkan para penggemar dan memohon pada SM untuk melonggarkan kontrak
mengenai pernikahan. Tapi untuk hal yang terakhir kusebutkan tadi tidak terlalu
sulit. Abeonim yang melakukannya. Dia bernegosiasi dengan pihak SM, seperti
yang ia lakukan dua tahun lalu saat meminta izin agar Siwon menikah.
Siwon menghentikan mobil dan menyerahkan kuncinya pada petugas valet parking. Aku keluar dari
mobil sambil menggendong bayi kami yang masih berusia empat bulan. Dia sangat
tampan seperti appanya. Kini penggemar Siwon benar-benar sudah meluluhkan hati
mereka menerima pernikahan kami setelah melihat foto-foto bayi kami tersebar di
mana-mana. Malaikat kecilku ini memang pembawa keberuntungan.
“Eonni, “panggil Jiwon memanyunkan bibirnya.
“Mianhae
terlambat, tadi aku harus menunggu Siwon dulu. Kau kan tahu sendiri akhir-akhir
ini dia sedang dipaksa appa mempelajari perusahaan.”
Jiwon mengangguk dan kembali tersenyum. “Kyaaa, keponakanku
tersayang. Eonni, biarkan aku menggendongnya.”
“Ayo, segera menyusul!” ujarku, tepat sekali saat Hyukkie datang
menghampiri kami. Wajah mereka seketika memerah.
“Pasti. Kami takkan kalah dari kalian,” sahut Hyukkie sembari
menunjukku dan Siwon yang baru saja ikut bergabung.
“Wah, kami ketinggalan upacara pernikahannya, ya?” tanya Siwon
tak berperasaan.
“Ne,
kalian datang hanya saat resepsi!” Jiwon menggembungkan pipinya sebal.
“Jangan marah padaku! Salahkan saja appa!” tukas Siwon.
“Ini acara pernikahan, kenapa kalian ribut?” protes suara di
belakang kami, Seera-eonni dan Leeteuk-oppa, beserta Chansoo yang berjalan di
samping appanya.
Kami tertawa. Jiwon harus berkeliling menyapa tamu yang lain,
dia megembalikan bayiku. Siwon melingkarkan tangannya di pinggulku dan
mengajakku ke samping ruangan. Di sana kulihat ada Donghae.
“Hyaaa, Donghae-ya,” sapa Siwon.
“Sunbae, lihat!” Rara memamerkan sebuah cincin di jari manisnya
pada Siwon. “Aku sudah dilamar si manusia ikan ini.”
“Jincha?”
Pekikku ikut senang. Akhirnya Donghae…
“Kan waktu itu kau bilang, jika dia kembali aku harus segera
melamarnya agar tak dicomot ikan lain. Tapi minggu depan dia sudah harus
kembali ke Amerika. Aku kesepian. Kau di sana satu setengah tahun lagi. Aku
ingin nikah cepat. Kenapa berlama-lama di sana?!” protes Donghae kesal.
“Menikah?” ulang Rara.
“Kalau sudah dilamar ya harus menikah,” semprot Donghae. Hey,
hey, hey, kemana sosok Donghae yang romantis?
Siwon menggelengkan kepalanya, dia menarikku ke tempat lain. Dia
menggiringku ke sebuah balkon di mana kami dapat melihat pemandangan indah.
Suasananya cukup sepi dan sangat romantis ditemani kerlap kerlip lampu dan
jutaan bintang yang bertaburan di langit.
“Saranghae,”
bisik Siwon di telingaku.
“Naddo,”
balasku.
Siwon memelukku sepanjang malam itu. Kami bercanda dengan anak
kami, menikmati peran sebagai orang tua baru. Sejak Siwon menyatakan cintanya
padaku di rumah sakit dulu, dia selalu membisikkan kata ‘saranghae’ setiap dua jam
sekali. Membuatku bahagia memang. Tapi itu sangat merepotkan apalagi ketika aku
sedang mandi diteror oleh telepon darinya yang sedang bekerja!
Begitulah… Aku yakin kini Changmin tengah tersenyum bahagia di
surga melihat istrinya menemukan pengganti dirinya. Hyukjae pasti dapat
membahagiakan Jiwon. Begitupula denganku yang telah menemukan kembali
kebahagiaanku.
Changmin-ah, beristirahatlah dengan tenang di sana. Kau tak
perlu mencemaskan keadaan noona. Selama hidup kau habiskan untuk menjagaku yang
selalu kesepian tanpa eomma dan appa. Gomawo…
Noona menyayangimu…
Inilah akhir kisahku setelah melintasi beberapa rintangan
tersulit dalam hidupku. Ingatlah, selama kau menjalaninya dengan sabar dan
tabah, Tuhan akan selalu ada di sampingmu. Berdoalah padaNya, maka kau akan
hidup bahagia selamanya.
So, am I marrying the right man? I think so
`THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar