Minggu, 26 Februari 2012

^^Super Junior FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^ [Part I]


^^Super Junior FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^
+++++++
[Part I]
Gangnam Hospital. Mei 2010 – 03:15pm.
AKU membuka amplop putih yang baru saja dokter sodorkan untukku. Ekspresi dokter itu datar, sulit kutebak. Jantungku berdebar-debar untuk melihat hasil laboratoriumnya. Sebuah kertas putih berhasil kukeluarkan, tapi belum kubaca. Aku memandang dokter itu, ia mengangguk padaku, pertanda aku harus membaca hasilnya.

Kulihat namaku tertera di bagian atas kertas, Shim Chaesa. Ya, itu memang namaku. Hati kecilku yang penasaran benar-benar tak bisa kuajak kompromi lagi. Langsung saja kulewati bagian tabel yang tak kumengerti menuju tulisan paling bawah bercetak tebal: POSITIF HAMIL.
Ya Tuhan! Benarkah ini? Benarkah aku hamil? Aku mengandung anak dari suamiku? Akhirnya… Akhirnya aku hamil. Aku hamil!
Senyum merekah dari bibirku. Dokter spesialis kandungan itu mengucapkan selamat untukku. “Chaesa-ah, selamat atas kehamilanmu. Tapi ada yang ingin kusampaikan, dan ini penting sekali…”
Aku menunggunya melanjutkan pembicaraan. Terlihat dari sorot matanya kalau dia takut mengatakan hal tersebut. Tapi aku tak peduli, asalkan hal itu penting untukku dan calon bayiku, aku akan menerimanya.
“Begini… Aku tahu bahwa akhir-akhir ini suamimu sedang dirundung skandal dengan artis wanita lain. Tapi kusarankan bahwa hal tersebut jangan sampai menyita pikiranmu. Aku khawatir itu bisa berpengaruh buruk pada kandunganmu.”
DEG!
Hal itu lagi… Padahal aku baru saja melupakannya. “Ne, aku takkan memusingkan hal itu. Aku akan sangat menjaga kandunganku. Aku mohon bantuanmu, Hikka.”
“Tentu saja aku akan membantumu. Kau pasien sekaligus sahabatku. Makanlah lebih banyak! Sekarang kau harus makan dengan porsi untuk dua orang. Arasseo?”
Ne, kamsahamnida. Aku pamit pulang dulu. Annyeong.
Annyeong…”
Kugeser pintu keluarnya dan menghirup udara berbau khas rumah sakit dalam-dalam. Rasanya segar sekali. Perasaanku sedang sangat baik sekarang.
~Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi naneun micheo mwuheh holin nom. Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi naneun micheo mwuheh holin nom~
Kudengar hpku berdering. Kurogoh tas dan mengambilnya. Alisku bertaut saat melihat nama seseorang di layar hp. “Yoboseyo? Oh, iya aku bisa. Aku segera ke sana.”
Aku bergegas berjalan menuju basement untuk mengambil mobilku. Setelah sampai di dalam dan menyalakan mesinnya, kuinjak pedal gas dalam-dalam. Aku benar-benar tak peduli pada kecepatannya, aku sama sekali tak ingin melihat speedometer.
Hanya dalam beberapa menit saja aku sudah sampai di kawasan apartemen elit. Kuparkirkan mobilku di luar gedung. Setelah keluar dari mobil, aku berjalan dengan sangat berhati-hati agar tidak terjatuh karena jalanan licin bekas hujan.
Aku keluar dari lift dan langsung menuju dorm Angela. Sebuah girl bandberanggotakan empat orang besutan SM Entertainment yang baru saja debut tahun lalu.
Kutekan belnya. Tak lama kemudian pintu terbuka. “Onnie, annyeong haseyo,” sapanya.
Aku masuk tapi tidak terlalu dalam. Aku tak ingin berlama-lama di sana. “Langsung saja. Ada apa kau memanggilku kemari?” tanyaku ketus.
“Onnie, sebaiknya kita bicara di dalam…”
Ani, di sini saja!”
“Baiklah. Aku…aku hanya ingin menyampaikan permohonan maafku padamu. Tak seharusnya skandal itu terjadi.”
“Apa gosip yang selama ini beredar itu benar?”
Ne?” tanyanya kaget.
“Apa kalian saling mencintai?” teriakku mulai kehilangan kendali.
“Onnie…”
“Selama ini kalian serius atau main-main? Katakan padaku yang sebenarnya!”
“Onnie, jwaesonghamnida.”
“Maaf? Untuk apa?”
“Aku…mencintai oppa. Aku sangat mencintainya.”
Mworago?” tanyaku syok.
Cho Heebon mengangguk, “Cheongmal jwaesonghamnida.”
“Jika aku menggugat cerai suamiku, apa kau masih berniat untuk memilikinya?” teriakku lagi, mataku kini sudah berkaca-kaca.
Heebon mengangguk perlahan dan menundukkan kepalanya.
Geure… Aku akan menggugatnya cerai. Tapi tentunya setelah bayi ini lahir!”
Ne?” sahutnya terkejut. “Ba…bayi?!”
Aku tak peduli lagi. Aku benci melihat wajahnya. Tanpa permisi aku melangkahkan kakiku keluar dorm. Kudengar dia memanggilku berkali-kali, tapi tak kusahut. Benci! Aku sangat membencinya!
+++++++
FLASHBACK…
Paris, Perancis. Maret 2009 – 10:00pm.
Tak henti-hentinya aku menggonta-ganti channel tv. Aku benar-benar gugup. Ini adalah malam pertamaku dengannya. Dan sangat menyebalkan sekali karena aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku.
Suara kucuran air dari shower belum berhenti, dia masih mandi. Lama sekali mandinya, tapi bagus juga, setidaknya bisa mengulur waktu untuk menuju hal yang benar-benar bisa membuatku gila.
Suara air berhenti, tapi ia masih berlama-lama di dalam. Omo~ Ini benar-benar membuatku gila! Apa yang sedang ia lakukan di dalam sana?
KLEK~
Pintu terbuka. Aku mulai membayangkan dia memakai piyama dengan dada terbuka, tapi… TIDAK SAMA SEKALI. Dia berpakaian lengkap dan rapi. T-shirt putih dipadu blazer dan celana hitam dengan tatanan rambut tintin seperti biasanya. Apa-apaan ini?!
“Chaesa-sshi, ayo kita jalan-jalan!” ajaknya membuatku syok. Yoboseyo?Yeobo, aku istrimu. Kenapa masih memanggilku Chaesa-sshi?!
Aku masih diam dan dia berbicara lagi, “Sayang sekali cuaca sebagus ini tidak dipakai untuk berjalan-jalan.Kazha!”
Aku kesal setengah mati. Oh yeah, sayang sekali cuaca sebagus ini tidak kita pakai untuk membuat baby!!!
Kusambar mantelku yang menggantung di tiang kayu dekat pintu. Aku keluar setelah dia membukakan pintu untukku. Selesai menguncinya, dia melenggang jalan duluan, berasa aku sama sekali tak ada di sisinya.
Dia terus berjalan di depanku. Jalannya cepat sekali, langkahnya pun besar-besar. Aku berusaha mengimbanginya, namun tetap saja tertinggal. “Tunggu aku!” pintaku yang sama sekali tidak dia dengar.
Entah sudah berapa lama kami berjalan, kini dia menghentikan langkahnya. “Indah, kan?” tanyanya sambil mengangkat tangannya ke sebuah besi tinggi menjulang yang berdiri kokoh.
“Eiffel?” gumamku takjub.
“Mmm… Chaesa-sshi, ada yang ingin kusampaikan padamu.”
Kualihkan pandanganku dari Eiffel ke wajah suamiku yang luar biasa tampan itu. “Apa itu?”
“Begini… Kau tahu kalau aku sangat membenci perjodohan ini. Tak pernah terlintas sedikit pun di pikiranku kalau aku akan mengalaminya. Kukira hanya Jiwon, ternyata aku pun menjadi korban kekerasan hati appa. Jadi, jangan berharap terlalu jauh dariku. Aku hanya ingin menunaikan kewajibanku sebagai anak untuk selalu taat pada appa.”
Aku sudah tahu. Kau memang terpaksa menerima perjodohan ini. Tapi aku takkan menyerah. Aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta padaku.
Dia menaruh tangannya di pundakku, “Tapi aku ikhlas. Aku memang benci dijodohkan, tapi aku tidak terpaksa untuk menjalaninya. Maka dari itu, aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Mungkin aku belum bisa seperti suami pada umumnya. Mianhae…”
Aku diam, mencerna kata-katanya satu per satu. “Ada yang ingin kutanyakan. Tolong kau jawab sejujur-jujurnya tanpa menghiraukan perasaanku. Janji?”
Dia mengangguk, “Tanyakan saja.”
“Saat kita bertemu di acara pertemuan perjodohan itu, apa kesanmu terhadapku?”
Dia tidak langsung menjawab, pandangannya menerawang jauh. Kutatap wajahnya yang hanya beberapa senti dari wajahku dan menunggu. Dia balas menatapku dan sadar kalau aku sedang menunggunya. “Rumit!” akhirnya dia menjawab, “Perasaanku tak menentu. Tapi jujur saja, aku sudah sangat tertarik padamu saat kita pertama kali bertemu di studio balet. Kau sangat ramah dan hangat waktu itu. Hatiku tergetar, tapi belum sepenuhnya. Aku hanya menganggapmu sebagai sunbaenya Jiwon, tidak lebih. Dan saat pertemuan perjodohan itu, suasana hatiku sedang buruk, jadi aku tidak benar-benar memperhatikanmu. Mianhae. Tapi aku tahu kalau kau itu baik sekali. Jadi, kupikir aku pasti bisa berusaha untuk menyukaimu, maka dari itu aku bersedia menikahimu.”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. “Apa sampai sekarang kau masih menganggapku sebagai sunbaenya Jiwon?”
Mwo? Oh, ya tentu. Selamanya kau adalah sunbaenya Jiwon. Tapi status kita sekarang berubah, kan? Kau istriku sekaligus kakak iparnya Jiwon, dan aku suamimu.”
Aku tersenyum getir. Pedih sekali mengetahui kenyataan kalau dia lebih mementingkan status dari pada hubungan di baliknya.
“Aku juga, ada yang ingin kutanyakan padamu. Jawablah dengan jujur, jangan pedulikan perasaanku juga,” dia menatapku lembut, “Bagaimana perasaanmu ketika tahu aku adalah calon suamimu?”
“Tidak buruk.”
“Hanya itu?”
Aku tersenyum, “Jauh dari kata buruk, karena aku sangat mencintaimu. Tetapi sekarang aku tahu, ternyata cintaku bertepuk sebelah tangan.”
Kulihat dia tersenyum simpul. Malam ini kami habiskan waktu dengan berjalan-jalan. Kami hanya diberi waktu dua hari satu malam di Paris untuk berbulan madu. Jadwal keartisannya sedang padat. Dan aku tak pernah lagi berharap dia akan menyentuhku seperti seorang suami pada umumnya.
+++++++
Incheon Airport. Maret 2009 – 11:00am.
Siwon merapatkan tubuhku ke tubuhnya, dia tak ingin terjadi apa-apa denganku. Ribuan fans yang membludak menjemput kedatangan suamiku, membuat petugas bandara kewalahan. Mereka berteriak memanggil-manggil nama suamiku. Dan ada beberapa di antara mereka yang mencibirku. Aku tak peduli, ini adalah resiko yang harus kutanggung karena menikah dengan pria yang menjadi pujaan ribuan wanita.
Kami berhasil keluar bandara berkat penjagaan ketat belasan bodyguard. Mereka menyuruh kami menaiki mobil hitam yang diparkir tak jauh dari bandara. Kami masuk ke dalam mobil yang disambut ceria oleh jeritan Jiwon.
“Oppa, Onnie…,” teriaknya.
“Jiwon-ah,” aku balas berteriak dan memeluknya. “Hyuk, untuk apa ikut jemput? Kau tak sibuk?”
“Sapaan macam apa itu? Kau seharusnya memanggilku oppa, tapi karena tak lama lagi aku akan jadi adik iparmu…,” dia menghela napas, “…tak apalah. Kumaafkan!”
Aku dan Jiwon tertawa sedangkan Siwon memalingkan wajahnya keluar kaca memandang penggemarnya yang berkutat berusaha melawan bodyguarduntuk mendekat ke mobil.
“Jadi… Bagaimana bulan madunya?” tanya Eunhyuk.
Aku hampir tersedak ludahku sendiri. Kupandangi jari-jari kakiku, tak ingin melihat mereka berdua yang menunggu-nunggu jawabanku.
“Lancar,” sahut Siwon, masih memalingkan wajahnya ke kaca.
“Kenapa kau memalingkan wajahmu? Malu kalau ingat semalam?” goda Eunhyuk.
“Aish,” Siwon memandangnya galak.
“Hahaha… Oke, aku takkan tanya apa-apa lagi.”
Siwon dan Eunhyuk turun di kantor SM. Mereka harus latihan, apalagi Siwon yang sudah tertinggal dua hari. Dia harus berlatih dance dengan keras. Sedangkan aku dan Jiwon pulang duluan.
“Onnie, di Paris menyenangkan?” tanya Jiwon.
Aku hanya mengangguk, tak ingin menjawabnya lebih jauh lagi. Jiwon membantuku memasukkan koper-koper ke kamar Siwon. Setelah selesai, dia meninggalkanku sendirian.
Asing sekali. Kamar ini sangat luas dan barang-barangnya sangat mewah. Perlahan-lahan aku menyusuri tiap sudut ruangannya. Ada banyak foto di dinding dan lemari. Dan di sudut dekat jendela yang mengarah ke halaman belakang, terdapat beberapa burble dengan berbagai ukuran.
Ah, rumah mewah ini terasa kurang nyaman bagiku. Semua penghuninya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka para pekerja keras, pantas Jiwon senang sekali ketika tahu aku dan Siwon akan menetap di sini.
Beberapa kali aku menguap, hingga akhirnya tertidur.
TOK TOK TOK~
“Onnie… Chaesa-onnie…,” panggil Jiwon.
Ne?” aku bangun dan mengerjap-ngerjapkan mataku.
“Sudah jam empat, mau bantu aku memasak? Oppa bilang sebentar lagi akan pulang.”
Ne? Jam empat?” Aku melirik jam di dinding. Ah, benar jam empat. Bahkan pakaian dalam koper pun belum sempat aku rapikan. “Aku mandi dulu, ya?”
“Oke. Aku tunggu di bawah.”
Setelah selesai mandi, aku turun ke bawah untuk membantu ahjumma dan Jiwon memasak. Barulah sekitar pukul tujuh semua anggota keluarga berkumpul di meja makan, termasuk Siwon.
Di meja makan itulah, untuk pertama kalinya aku mengetahui kalau eomonim kurang menyukaiku. Dia tidak menyetujui perjodohan ini. Dan dia sama sekali tidak mengajakku berbicara. Hanya abeonim-lah yang sedari tadi antusias mengajukan beberapa pertanyaan padaku.
Setelah selesai makan, abeonim memaksaku dan Siwon untuk segera masuk ke dalam kamar. Dengan semangat dia mendorong Siwon, menyuruhnya untuk memberikan cucu padanya. Aku dan Siwon langsung salah tingkah dan tak bisa menolak. Kami memang masuk kamar, tapi untuk urusan tidur, kami pisah ranjang. Aku di kasur dan dia di sofa…

 To Be Continue ………

share by superdiya.wordpress.com

Tidak ada komentar: