^^Super Junior
FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^
+++++++
[Part I]
Gangnam Hospital. Mei 2010 – 03:15pm.
AKU membuka amplop putih yang baru saja dokter sodorkan untukku.
Ekspresi dokter itu datar, sulit kutebak. Jantungku berdebar-debar untuk
melihat hasil laboratoriumnya. Sebuah kertas putih berhasil kukeluarkan, tapi
belum kubaca. Aku memandang dokter itu, ia mengangguk padaku, pertanda aku
harus membaca hasilnya.
Kulihat namaku tertera di bagian atas kertas, Shim Chaesa. Ya, itu memang namaku. Hati kecilku yang penasaran benar-benar tak bisa kuajak kompromi lagi. Langsung saja kulewati bagian tabel yang tak kumengerti menuju tulisan paling bawah bercetak tebal: POSITIF HAMIL.
Kulihat namaku tertera di bagian atas kertas, Shim Chaesa. Ya, itu memang namaku. Hati kecilku yang penasaran benar-benar tak bisa kuajak kompromi lagi. Langsung saja kulewati bagian tabel yang tak kumengerti menuju tulisan paling bawah bercetak tebal: POSITIF HAMIL.
Ya Tuhan! Benarkah ini? Benarkah aku hamil? Aku mengandung anak
dari suamiku? Akhirnya… Akhirnya aku hamil. Aku hamil!
Senyum merekah dari bibirku. Dokter spesialis kandungan itu mengucapkan selamat untukku. “Chaesa-ah, selamat atas kehamilanmu. Tapi ada yang ingin kusampaikan, dan ini penting sekali…”
Senyum merekah dari bibirku. Dokter spesialis kandungan itu mengucapkan selamat untukku. “Chaesa-ah, selamat atas kehamilanmu. Tapi ada yang ingin kusampaikan, dan ini penting sekali…”
Aku menunggunya melanjutkan pembicaraan. Terlihat dari sorot
matanya kalau dia takut mengatakan hal tersebut. Tapi aku tak peduli, asalkan
hal itu penting untukku dan calon bayiku, aku akan menerimanya.
“Begini… Aku tahu bahwa akhir-akhir ini suamimu sedang dirundung
skandal dengan artis wanita lain. Tapi kusarankan bahwa hal tersebut jangan
sampai menyita pikiranmu. Aku khawatir itu bisa berpengaruh buruk pada
kandunganmu.”
DEG!
Hal itu lagi… Padahal aku baru saja melupakannya. “Ne, aku takkan memusingkan hal
itu. Aku akan sangat menjaga kandunganku. Aku mohon bantuanmu, Hikka.”
“Tentu saja aku akan membantumu. Kau pasien sekaligus sahabatku.
Makanlah lebih banyak! Sekarang kau harus makan dengan porsi untuk dua
orang. Arasseo?”
“Ne, kamsahamnida.
Aku pamit pulang dulu. Annyeong.”
“Annyeong…”
Kugeser pintu keluarnya dan menghirup udara berbau khas rumah
sakit dalam-dalam. Rasanya segar sekali. Perasaanku sedang sangat baik
sekarang.
~Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi naneun micheo
mwuheh holin nom. Baraboneun noonbit sokeh noonbit sokeh naneun machi naneun
micheo mwuheh holin nom~
Kudengar hpku berdering. Kurogoh tas dan mengambilnya. Alisku
bertaut saat melihat nama seseorang di layar hp. “Yoboseyo? Oh, iya aku bisa. Aku segera ke sana.”
Aku bergegas berjalan menuju basement untuk mengambil mobilku.
Setelah sampai di dalam dan menyalakan mesinnya, kuinjak pedal gas dalam-dalam.
Aku benar-benar tak peduli pada kecepatannya, aku sama sekali tak ingin melihat
speedometer.
Hanya dalam beberapa menit saja aku sudah sampai di kawasan
apartemen elit. Kuparkirkan mobilku di luar gedung. Setelah keluar dari mobil,
aku berjalan dengan sangat berhati-hati agar tidak terjatuh karena jalanan
licin bekas hujan.
Aku keluar dari lift dan langsung menuju dorm Angela.
Sebuah girl bandberanggotakan
empat orang besutan SM Entertainment yang baru saja debut tahun lalu.
Kutekan belnya. Tak lama kemudian pintu terbuka. “Onnie, annyeong haseyo,” sapanya.
Aku masuk tapi tidak terlalu dalam. Aku tak ingin berlama-lama
di sana. “Langsung saja. Ada apa kau memanggilku kemari?” tanyaku ketus.
“Onnie, sebaiknya kita bicara di dalam…”
“Ani,
di sini saja!”
“Baiklah. Aku…aku hanya ingin menyampaikan permohonan maafku
padamu. Tak seharusnya skandal itu terjadi.”
“Apa gosip yang selama ini beredar itu benar?”
“Ne?”
tanyanya kaget.
“Apa kalian saling mencintai?” teriakku mulai kehilangan
kendali.
“Onnie…”
“Selama ini kalian serius atau main-main? Katakan padaku yang
sebenarnya!”
“Onnie, jwaesonghamnida.”
“Maaf? Untuk apa?”
“Aku…mencintai oppa. Aku sangat mencintainya.”
“Mworago?”
tanyaku syok.
Cho Heebon mengangguk, “Cheongmal
jwaesonghamnida.”
“Jika aku menggugat cerai suamiku, apa kau masih berniat untuk
memilikinya?” teriakku lagi, mataku kini sudah berkaca-kaca.
Heebon mengangguk perlahan dan menundukkan kepalanya.
“Geure…
Aku akan menggugatnya cerai. Tapi tentunya setelah bayi ini lahir!”
“Ne?”
sahutnya terkejut. “Ba…bayi?!”
Aku tak peduli lagi. Aku benci melihat wajahnya. Tanpa permisi
aku melangkahkan kakiku keluar dorm. Kudengar dia memanggilku berkali-kali,
tapi tak kusahut. Benci! Aku sangat membencinya!
+++++++
FLASHBACK…
Paris, Perancis. Maret 2009 – 10:00pm.
Tak henti-hentinya aku menggonta-ganti channel tv. Aku
benar-benar gugup. Ini adalah malam pertamaku dengannya. Dan sangat menyebalkan
sekali karena aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku.
Suara kucuran air dari shower belum berhenti, dia masih mandi.
Lama sekali mandinya, tapi bagus juga, setidaknya bisa mengulur waktu untuk
menuju hal yang benar-benar bisa membuatku gila.
Suara air berhenti, tapi ia masih berlama-lama di dalam. Omo~
Ini benar-benar membuatku gila! Apa yang sedang ia lakukan di dalam sana?
KLEK~
Pintu terbuka. Aku mulai membayangkan dia memakai piyama dengan
dada terbuka, tapi… TIDAK SAMA SEKALI. Dia berpakaian lengkap dan rapi. T-shirt
putih dipadu blazer dan celana hitam dengan tatanan rambut tintin seperti
biasanya. Apa-apaan ini?!
“Chaesa-sshi, ayo kita jalan-jalan!” ajaknya membuatku
syok. Yoboseyo?Yeobo,
aku istrimu. Kenapa masih memanggilku Chaesa-sshi?!
Aku masih diam dan dia berbicara lagi, “Sayang sekali cuaca
sebagus ini tidak dipakai untuk berjalan-jalan.Kazha!”
Aku kesal setengah mati. Oh yeah, sayang sekali cuaca sebagus
ini tidak kita pakai untuk membuat baby!!!
Kusambar mantelku yang menggantung di tiang kayu dekat pintu.
Aku keluar setelah dia membukakan pintu untukku. Selesai menguncinya, dia
melenggang jalan duluan, berasa aku sama sekali tak ada di sisinya.
Dia terus berjalan di depanku. Jalannya cepat sekali, langkahnya
pun besar-besar. Aku berusaha mengimbanginya, namun tetap saja tertinggal.
“Tunggu aku!” pintaku yang sama sekali tidak dia dengar.
Entah sudah berapa lama kami berjalan, kini dia menghentikan
langkahnya. “Indah, kan?” tanyanya sambil mengangkat tangannya ke sebuah besi
tinggi menjulang yang berdiri kokoh.
“Eiffel?” gumamku takjub.
“Mmm… Chaesa-sshi, ada yang ingin kusampaikan padamu.”
Kualihkan pandanganku dari Eiffel ke wajah suamiku yang luar
biasa tampan itu. “Apa itu?”
“Begini… Kau tahu kalau aku sangat membenci perjodohan ini. Tak
pernah terlintas sedikit pun di pikiranku kalau aku akan mengalaminya. Kukira
hanya Jiwon, ternyata aku pun menjadi korban kekerasan hati appa. Jadi, jangan
berharap terlalu jauh dariku. Aku hanya ingin menunaikan kewajibanku sebagai
anak untuk selalu taat pada appa.”
Aku sudah tahu. Kau memang terpaksa menerima perjodohan ini.
Tapi aku takkan menyerah. Aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta padaku.
Dia menaruh tangannya di pundakku, “Tapi aku ikhlas. Aku memang
benci dijodohkan, tapi aku tidak terpaksa untuk menjalaninya. Maka dari itu,
aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Mungkin aku belum bisa seperti suami
pada umumnya. Mianhae…”
Aku diam, mencerna kata-katanya satu per satu. “Ada yang ingin
kutanyakan. Tolong kau jawab sejujur-jujurnya tanpa menghiraukan perasaanku.
Janji?”
Dia mengangguk, “Tanyakan saja.”
“Saat kita bertemu di acara pertemuan perjodohan itu, apa
kesanmu terhadapku?”
Dia tidak langsung menjawab, pandangannya menerawang jauh.
Kutatap wajahnya yang hanya beberapa senti dari wajahku dan menunggu. Dia balas
menatapku dan sadar kalau aku sedang menunggunya. “Rumit!” akhirnya dia
menjawab, “Perasaanku tak menentu. Tapi jujur saja, aku sudah sangat tertarik
padamu saat kita pertama kali bertemu di studio balet. Kau sangat ramah dan
hangat waktu itu. Hatiku tergetar, tapi belum sepenuhnya. Aku hanya
menganggapmu sebagai sunbaenya Jiwon, tidak lebih. Dan saat pertemuan
perjodohan itu, suasana hatiku sedang buruk, jadi aku tidak benar-benar
memperhatikanmu. Mianhae.
Tapi aku tahu kalau kau itu baik sekali. Jadi, kupikir aku pasti bisa berusaha
untuk menyukaimu, maka dari itu aku bersedia menikahimu.”
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. “Apa sampai sekarang kau
masih menganggapku sebagai sunbaenya Jiwon?”
“Mwo?
Oh, ya tentu. Selamanya kau adalah sunbaenya Jiwon. Tapi status kita sekarang
berubah, kan? Kau istriku sekaligus kakak iparnya Jiwon, dan aku suamimu.”
Aku tersenyum getir. Pedih sekali mengetahui kenyataan kalau dia
lebih mementingkan status dari pada hubungan di baliknya.
“Aku juga, ada yang ingin kutanyakan padamu. Jawablah dengan
jujur, jangan pedulikan perasaanku juga,” dia menatapku lembut, “Bagaimana
perasaanmu ketika tahu aku adalah calon suamimu?”
“Tidak buruk.”
“Hanya itu?”
Aku tersenyum, “Jauh dari kata buruk, karena aku sangat
mencintaimu. Tetapi sekarang aku tahu, ternyata cintaku bertepuk sebelah
tangan.”
Kulihat dia tersenyum simpul. Malam ini kami habiskan waktu
dengan berjalan-jalan. Kami hanya diberi waktu dua hari satu malam di Paris untuk
berbulan madu. Jadwal keartisannya sedang padat. Dan aku tak pernah lagi
berharap dia akan menyentuhku seperti seorang suami pada umumnya.
+++++++
Incheon Airport. Maret 2009 – 11:00am.
Siwon merapatkan tubuhku ke tubuhnya, dia tak ingin terjadi
apa-apa denganku. Ribuan fans yang membludak menjemput kedatangan suamiku,
membuat petugas bandara kewalahan. Mereka berteriak memanggil-manggil nama
suamiku. Dan ada beberapa di antara mereka yang mencibirku. Aku tak peduli, ini
adalah resiko yang harus kutanggung karena menikah dengan pria yang menjadi
pujaan ribuan wanita.
Kami berhasil keluar bandara berkat penjagaan ketat
belasan bodyguard.
Mereka menyuruh kami menaiki mobil hitam yang diparkir tak jauh dari bandara.
Kami masuk ke dalam mobil yang disambut ceria oleh jeritan Jiwon.
“Oppa, Onnie…,” teriaknya.
“Jiwon-ah,” aku balas berteriak dan memeluknya. “Hyuk, untuk apa
ikut jemput? Kau tak sibuk?”
“Sapaan macam apa itu? Kau seharusnya memanggilku oppa, tapi
karena tak lama lagi aku akan jadi adik iparmu…,” dia menghela napas, “…tak
apalah. Kumaafkan!”
Aku dan Jiwon tertawa sedangkan Siwon memalingkan wajahnya
keluar kaca memandang penggemarnya yang berkutat berusaha melawan bodyguarduntuk mendekat ke
mobil.
“Jadi… Bagaimana bulan madunya?” tanya Eunhyuk.
Aku hampir tersedak ludahku sendiri. Kupandangi jari-jari
kakiku, tak ingin melihat mereka berdua yang menunggu-nunggu jawabanku.
“Lancar,” sahut Siwon, masih memalingkan wajahnya ke kaca.
“Kenapa kau memalingkan wajahmu? Malu kalau ingat semalam?” goda
Eunhyuk.
“Aish,” Siwon memandangnya galak.
“Hahaha… Oke, aku takkan tanya apa-apa lagi.”
Siwon dan Eunhyuk turun di kantor SM. Mereka harus latihan,
apalagi Siwon yang sudah tertinggal dua hari. Dia harus berlatih dance dengan
keras. Sedangkan aku dan Jiwon pulang duluan.
“Onnie, di Paris menyenangkan?” tanya Jiwon.
Aku hanya mengangguk, tak ingin menjawabnya lebih jauh lagi.
Jiwon membantuku memasukkan koper-koper ke kamar Siwon. Setelah selesai, dia
meninggalkanku sendirian.
Asing sekali. Kamar ini sangat luas dan barang-barangnya sangat
mewah. Perlahan-lahan aku menyusuri tiap sudut ruangannya. Ada banyak foto di
dinding dan lemari. Dan di sudut dekat jendela yang mengarah ke halaman
belakang, terdapat beberapa burble
dengan berbagai ukuran.
Ah, rumah mewah ini terasa kurang nyaman bagiku. Semua
penghuninya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka para pekerja keras,
pantas Jiwon senang sekali ketika tahu aku dan Siwon akan menetap di sini.
Beberapa kali aku menguap, hingga akhirnya tertidur.
TOK TOK TOK~
“Onnie… Chaesa-onnie…,” panggil Jiwon.
“Ne?”
aku bangun dan mengerjap-ngerjapkan mataku.
“Sudah jam empat, mau bantu aku memasak? Oppa bilang sebentar
lagi akan pulang.”
“Ne?
Jam empat?” Aku melirik jam di dinding. Ah, benar jam empat. Bahkan pakaian
dalam koper pun belum sempat aku rapikan. “Aku mandi dulu, ya?”
“Oke. Aku tunggu di bawah.”
Setelah selesai mandi, aku turun ke bawah untuk membantu ahjumma
dan Jiwon memasak. Barulah sekitar pukul tujuh semua anggota keluarga berkumpul
di meja makan, termasuk Siwon.
Di meja makan itulah, untuk pertama kalinya aku mengetahui kalau
eomonim kurang menyukaiku. Dia tidak menyetujui perjodohan ini. Dan dia sama
sekali tidak mengajakku berbicara. Hanya abeonim-lah yang sedari tadi antusias
mengajukan beberapa pertanyaan padaku.
Setelah selesai makan, abeonim memaksaku dan Siwon untuk segera
masuk ke dalam kamar. Dengan semangat dia mendorong Siwon, menyuruhnya untuk
memberikan cucu padanya. Aku dan Siwon langsung salah tingkah dan tak bisa
menolak. Kami memang masuk kamar, tapi untuk urusan tidur, kami pisah ranjang.
Aku di kasur dan dia di sofa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar