Minggu, 26 Februari 2012

^^Super Junior FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^ [Part VII]


^^Super Junior FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^

 [Part VII]

 PAGI-PAGI sekali aku sudah bangun. Kulihat Siwon masih terlelap dibungkus selimutnya. Aku menghela napasku berat. Rasanya seperti ada gundukan batu yang mengendap di dadaku. Hatiku perih tersayat jika teringat kejadian semalam saat kami bertengkar.
Kubereskan selimut dan menyimpannya dalam lemari, lalu pergi mandi. Setelah itu, buru-buru aku keluar kamar sebelum Siwon terbangun. Aku belum mau  melihat wajahnya, karena selalu terbesit ingatan janinku setiap kali melihat wajahnya.
Kulihat eomonim tengah menyiapkan sarapan di meja makan. Aku menyapanya dan ia, entah perasaanku saja atau memang benar, terlihat sangat segar, sehat, dan lebih muda dari sebelumnya. Ia tersenyum lembut padaku dan memelukku kilat. Baiklah, di satu sisi kuakui memang senang sekali melihatnya kini sangat perhatian padaku. Tetapi di sisi lain, putranya selalu menyakitiku. Aku benar-benar dilema dengan apa yang harus kulakukan nanti.

“Sarapan sudah siap. Chaesa-ya, bisa kau panggilkan Jiwon dan Siwon?” pinta eomonim.
“Oh… Ne, Eomonim.”
Aku berjalan ke arah tangga dan menaikinya. Berbelok ke kiri menuju koridor yang di dindingnya dipasangi lukisan-lukisan keluarga mereka dari yang paling moyang. Aku sampai di kamar paling ujung. Kuketuk pintunya dan Jiwon menyahut.
“Iya, aku segera ke bawah.”
Aku berbalik menjauhi pintu. Kini aku berjalan menuju sebrang koridor. Di mana terdapat sebuah pintu kayu tebal dan kumasuki. Kulihat kasur sudah rapi dibereskan. Siwon pasti sudah bangun. Kubalikkan tubuhku untuk keluar dan kembali ke bawah, namun seseorang memelukku dari belakang.
“Lepaskan!” pintaku dingin.
Siwon meletakkan kepalanya di bahu kananku dan mengeratkan pelukannya pada perutku, “Aniyo!”
Kulepas paksa kaitan tangannya dari perutku, “Eomonim sudah menunggu kita di bawah.”
“Oh ya, apa ia sehat? Kulihat kemarin ia sangat pucat.”
“Sangat sehat!”
Aku melangkah keluar kamar menginggalkannya. Sesampainya di bawah, aku langsung duduk di kursi meja makan dan mulai menyantap sarapannya. Siwon menuruni tangga kemudian duduk di sampingku. Ia menyapa riang seluruh anggota keluarga. Mereka saling bercengkrama, hanya aku sendiri yang makan dalam diam.
“Chaesa-ya, hari ini kau mau kemana?” tanya abeonim semangat, seperti tak terjadi hal apapun sebelumnya.
“Seperti biasa, studio balet. Kami sudah mendapatkan murid sekarang…,” kudengar Jiwon tersedak.
“Lho, bukankah murid baletmu memang sudah ada sedari dulu?”
“Ah?” sekarang aku mengerti mengapa Jiwon tersedak, ah bodoh sekali aku! “Oh, ne. Maksudku, kini haksaengnya semakin bertambah banyak.”
Abeonim mengangguk dan melanjutkan makannya. Sedangkan aku bernapas lega. Kulirikkan mataku ke samping kanan. Ternyata sedari tadi Siwon memperhatikanku. Kualihkan pandanganku. Entah kenapa rasanya kurang nyaman. Kuakui amarahku padanya belum reda. Siwon terlalu menganggap enteng semua ini. Dia tak peka dengan perasaan orang lain.
“Kami pergi…,” pamitku seraya menarik lengan Jiwon yang kebingungan.
“Hati-hati!” teriak abeonim dan eomonim bersamaan. Entah bagaimana ekspresi Siwon. Aku tak melihat lagi ke belakang.
“Ada apa ini?” tanya Jiwon terengah-engah kelelahan karena setengah kuseret.
“Oppamu berbohong. Kami tidak tinggal bersama kemarin. Aku tinggal di rumahku yang dulu dan sama sekali tak tahu kalau Siwon juga meninggalkan rumah.”
Ne?! Maksud eonni apa?”
“Lupakan!”
Jiwon menghela napasnya. Ia tak bertanya apapun lagi. Ia mengerti bagaimana perasaanku yang kacau saat ini. Kami berjalan menuju sebuah halte dan menunggu bis datang. Setiap kali pergi ke studio balet, kami memang jarang menggunakan mobil pribadi. Terlalu mencolok. Mobil yang dimiliki keluarga Choi adalah mobil kelas atas. Sedangkan mobil sederhanaku kutinggal di rumahku yang dulu.
Kami menaiki bisnya ketika sudah datang. Duduk di bangku paling belakang dan menikmati perjalanan melihat orang berlalu-lalang di depan pertokoan. Beberapa menit kemudian, bis kembali berhenti di sebuah halte. Kami turun dan berjalan menuju sebuah gedung.
Baru setengah jalan masuk, kulihat mobil Siwon terparkir di halaman. Jiwon mendekati mobil itu untuk memastikan.
“Ini benar mobil oppa. Mau apa dia kemari?” ujar Jiwon lantas berlari masuk ke dalam. Aku mau tak mau menyusulnya.
Kulihat Jiwon memasuki kantor, aku pun mengikutinya. Di sana aku melihat Siwon. Di tangan kanannya teremas sebuah kertas. Seluruh tubuhnya bergetar.
“Oppa,” panggil Jiwon.
Siwon pun menoleh, penuh amarah. Kulihat tangan yang meremas kertas itu mengeluarkan urat-uratnya yang besar.
“Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa kalian tak memberitahuku?” tanyanya sambil mengertakan gigi.
“Apanya?” tanya Jiwon polos. Aku tahu apa yang Siwon maksud. Kertas yang diremasnya itu adalah selebaran mengenai pencarian murid.
“Mengapa kalian tak memberitahuku kalau kemarin keadaan kalian terjepit?!” teriaknya membuatku dan Jiwon mundur beberapa langkah.
“Itu…itu…,” Jiwon mulai kelabakan.
“Kami tak ingin membuatmu memikirkan hal ini. Kau juga mempunyai pekerjaan, kan?”
Siwon melemaskan rahangnya dan sikapnya sedikit melunak sekarang, “Chaesa-ya, aku suamimu. Aku juga berhak tahu.”
Jiwon pergi keluar meninggalkan kami.
“Sudahlah. Masa kritis itu sudah lewat. Lagipula kau datang di saat sesuatu yang buruk telah terjadi. Sepertinya kau takkan mempedulikanku jika hal itu tak ada. Iya kan? Apa ini sebuah sogokan agar aku tutup mulut?”
Kulihat rahang Siwon kembali mengeras, “Kau tak adil. Kau hanya cukup memberitahuku…”
“Apa kau mengangkat teleponku? Saat di China kau bahkan melupakanku. Kau bersenang-senang bersama Heebon, padahal kau bilang terlalu sibuk sehingga tak memiliki waktu untuk menghubungiku. Lalu apakah ini pantas disebut adil?”
Siwon berjalan mendekatiku. Ia menjatuhkan kertas yang digenggamnya dan memelukku. Aku tahu dia menyesali perbuatannya. Aku yakin kini dia telah menyadari kesalahannya. Ia melepaskan pelukannya dan merengkuh wajahku.
Mianhae…”
Kupejamkan mataku dan kutundukkan wajahku, kecewa. Bukan, bukan kata-kata itu yang kuharapkan keluar dari mulutnya. Aku ingin mendengar kata ‘cinta’ darinya. Jika ia mengucapkannya sekarang, maka akan kulupakan semua kesalahannya.
Siwon membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, “Aku…”
~Oppaaaaa…~
Hpnya berbunyi. Sebentar, suara siapa tadi? Aku tak pernah merekam suaraku di hpnya. Dan belum pernah memanggil Siwon dengan sebutan ‘oppa’ karena kami seumuran. Apa itu suara Heebon?
Siwon mundur menjauhiku. Dia menerima panggilan teleponnya. “Tak bisa. Aku sibuk,” ujarnya lalu menutup teleponnya.
“Heebon?” tanyaku.
Siwon terdiam, masih mengutak-atik hpnya. Sepertinya ia sedang mengganti nada deringnya. Hhhh… Jangan takut ketahuan, Siwon. Karena aku sudah mengetahui perasaanmu padanya sejak dulu.
“Iya,” jawabnya singkat. “Dia memintaku menemaninya latihan. Kubilang tak bisa karena…”
“Karena aku? Tak apa-apa jika kau mau…”
“Aku tak mau!”
Aku tersenyum simpul. Ada apa ini? Kenapa tumben sekali ia menolak permintaan Heebon? Jangan bilang kalau ia sedang membaik-baikkiku agar tetap menutup mulut menjaga rahasianya.
“Aku harus mengajar.”
“Chaesa-ya…,” panggilnya dan berjalan mendekatiku, “…kumohon jangan membenciku. Jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa menghubungiku. Jangan lupakan bahwa aku suamimu. Kumohon!”
Aku tersenyum, dan lagi-lagi simpul. Aku tak menyahutnya, pergi tanpa kata…
KUSUNGGINGKAN bibirku, memberikan senyuman termanis pada seluruh haksaengku walau dalam hati itu semua berkebalikan. Di sudut ruangan kulihat Donghae tengah duduk menorehkan tanda tangannya untuk dibagikan pada semua haksaengku. Rupanya hari ini gilirannya yang datang kemari. Ini pertama kali aku melihatnya setelah kejadian ironis beberapa minggu lalu.
Kuhampiri dia yang kini sedang asik melayani foto bersama penggemarnya. Dia menoleh dan melihatku. Auranya sangat baik, dia terlihat sangat cerah hari ini.
“Apa kabar?” sapaku.
“Sakit semenjak kau menghilang,” jawab Donghae seenaknya.
Beberapa fans yang mendengar jawabannya langsung mengeluarkan ekspresi aneh dan menangis massal, “Oppaaaa…”
“Hyaaa, aku hanya bercanda. Dia sudah bersuami!”
Lantas mereka semua mengalihkan perhatiannya padaku, masih menangis massal “Saem~
Wae?” tanyaku bingung, “Donghae-sshi hanya bercanda. Dan aku takkan pernah memperlihatkan kebersamaanku dengan Siwon di sini. Oke? Ayo, sekarang kalian latihan!”
Mereka menurut dan meninggalkan aku dengan Donghae. Ya, itu janjiku. Takkan pernah memperlihatkan kebersamaanku dengan Siwon. Lagipula dalam situasi seperti ini, itu tak mungkin ‘kan?
Aku dan Donghae mengobrol banyak. Dia mencurahkan seluruh keluh kesahnya saat aku tak ada. Dia bilang kalau dia juga mencariku dan tak pernah berhenti bertanya pada Siwon aku berada di mana. Siwon tidak menjawab dengan kata-kata. Dia menjawab dengan perlakuan buruknya terhadap Donghae. Sejak kejadian itu hubungan mereka merenggang. Saling menyalahkan satu sama lain.
“Saat kau terjatuh, akulah yang lebih dulu menyadarinya dan menyentuh pahamu. Maaf, sudah lancang!” aku Donghae.
Kudongakkan wajahku dan memandangnya lekat-lekat. Jadi, itu dia? Bukan Siwon?
Donghae melanjutkan lagi pembicaraannya, “Siwon sangat panik dan syok. Yang bisa dia lakukan saat itu hanya menggendongmu sambil berteriak histeris dan membawamu lari ke rumah sakit. Dia menolak ketika kutawari untuk naik mobilku. Dia membawamu lari menempuh beberapa kilometer. Dan ketika sampai di rumah sakit, dia jatuh pingsan. Saat kau siuman, Siwon pun baru tersadar dan ia bersikukuh ingin menemuimu. Selang infuse yang menancap di tangannya ia cabut dengan paksa sehingga tangannya mengalami pendarahan. Ia menyembunyikannya di balik baju agar kau tak dapat melihatnya. Namun setelah kau memintanya keluar kamar, ia kehilangan kesadarannya kembali karena terlalu banyak kehilangan darah. Dan keesokan harinya ketika ia siuman, ia sudah membenciku.”
Kudongakkan kepalaku untuk menahan agar tak ada air mata yang mengalir. Memalukan sekali jika itu terjadi. Apa tanggapan semua orang yang ada di sana jika melihatku menangis.
Uljima!” bisik Donghae di telingaku.
Setelah merasa lebih baik, kualihkan pandanganku ke arah para haksaeng yang sedang berlatih. Namun di pintu masuk kulihat Siwon tengah memandang dingin ke arahku dan Donghae. Aku membeku. Dia pasti melihat perlakuan Donghae tadi saat memintaku untuk tak menangis. Oh tidak, jangan salah paham kumohon. Aku tak ingin hubungan mereka kian memburuk. Tak lama setelah itu Siwon beranjak dari tempatnya. Aku berlari menyusulnya, tetapi tak sampai beberapa langkah, kudengar hp-nya berdering, kuhentikan langkahku.
“Oh, Heebon-ah. Iya, aku segera ke sana.”
Heebon lagi… Kubiarkan Siwon pergi jika memang bersama Heebon membuatnya bahagia. Aku akan mulai membiasakan diri bernapas tanpanya.


Siwon’s Room. Juli 2010 – 01:25AM.
PERLAKUAN Siwon akhir-akhir ini sudah mencapai fase aneh. Setiap hari sepulang bekerja ia akan selalu membawakanku buket bunga. Tak peduli pukul berapa ia sampai rumah, bunga itu selalu tampak segar seperti baru dipetik. Apakah pukul dua pagi masih ada toko bunga yang buka?
Jika aku sudah terlelap, ia akan menaruhnya di samping kepalaku. Sengaja agar aku menghirup aromanya dan terbangun.
“Baiklah ini hari ketujuh. Katakan padaku apa sebenarnya yang sedang kau lakukan? Ini sangat mengganggu. Aku kerap terbangun pada dini hari,” protesku.
“Terganggu?” sahutnya dan kulihat ekspresi kecewa dari matanya.
“Mmm… Maksudku, aku kan harus bangun pukul lima pagi untuk membantu eomonim dan Jiwon menyiapkan sarapan setelah itu pergi mengajar. Akhir-akhir ini aku tak dapat lagi bangun pagi.”
Siwon berjalan menghampiriku dan menggendongku lalu ditidurkannya aku ke kasur. Karena terkejut, sontak aku bangun dan kembali ke sofa.
“Mau sampai kapan kau tidur di sana? Aku tahu bagaimana rasanya tidur di sofa. Seluruh badan terasa pegal. Chaesa-ya, kau masih belum bisa memaafkanku?”
“Akan kumaafkan jika kau mengakui perbuatanmu.”
“Pasti…pasti akan kuakui di depan eomma, appa, dan Jiwon…”
“Janji?”
Siwon mengangkat kelima jarinya, “Aku bersumpah. Jadi, kau mau kan meninggalkan sofa itu dan kembali tidur di kasur?”
Aniyo. Kubilang akan kulakukan jika kau sudah mengakui, bukan hanya bersumpah.”
Kulihat Siwon pasrah dan naik ke atas kasur tanpa mengganti pakaiannya.
Keesokan paginya…
Pagi ini adalah pagi paling menegangkan bagi Siwon. Semalam dia sudah bersumpah akan mengakuinya. Aku ingin dia menepati janjinya hari ini. Aku ingin melihat Siwon hidup tenang tanpa dihantui rasa bersalah.
“Eomma, sehatkah?” tanya Siwon hati-hati.
Ne. kalian bertiga sehat?” eomonim balik bertanya, aku, Siwon dan Jiwon pun mengangguk.
“Ada yang ingin kusampaikan…”
“Nanti saja setelah selesai sarapan,” potong abeonim dan Siwon menurut. Kami semua melanjutkan sarapan. Setelah selesai, barulah Siwon mulai menyinggung hal itu lagi. “Harus kusampaikan sekarang juga. Aku tak tahan jika harus menahannya berlama-lama.”
Kami semua menanti. Sejujurnya aku sangat takut. Apa yang akan dilakukan abeonim jika ia mengetahui bahwa putranya sendiri yang telah membuatnya kehilangan calon cucunya? Aku juga sangat mengkhawatirkan kesehatan eomonim.
“Penyebab Chaesa kehilangan janinnya bukan karena kecerobohannya sendiri…,” Siwon memulai pembicaraannya sambil menghela napasnya tegang, “…tapi karena aku.”
Tak ada yang mengerti. Mereka bertiga berlomba mengerutkan dahi. Siwon menceritakan seluruhnya secara mendetail. Tak ada yang ia tutupi, bahkan Heebon pun ia ceritakan. Bagaimana perasaannya setelah menikah denganku, bagaimana keadaan kegiatan baletku yang hampir gulung tikar, bagaimana ia memanfaatkanku sebagai pemuas nafsu di malam itu, dan tunggu… PEMUAS NAFSU?!
NE?!” pekikku.
“Saat itu yang ada dalam pikiranku adalah Heebon, bukan kau. Mianhaeyo! Cheongmal mianhaeyo, Chaesa-ya…”
Abeonim berdiri meninggalkan kursinya, ia berjalan menghampiri Siwon lalu menamparnya tiga kali berturut-turut kemudian menghempaskan Siwon dengan kasar hingga ia tersungkur. Lantas abeonim berjalan menghampiriku dan berlutut di hadapanku.
“Abeonim,” panggilku memintanya untuk berdiri.
Mianhae, Chaesa-ya. Aku benar-benar tak tahu kalau kau semenderita ini. Aku yang membuat kalian menikah dalam keadaan terpaksa. Maaf karena telah membuatmu menikah dengan putraku yang bodoh. Maafkan aku, Chaesa-ya…”
“Abeonim,” panggilku sambil menangis dan berusaha sekuat tenaga membuatnya agar tak berlutut lagi, “Kumohon jangan seperti ini!”
Siwon menghampiri eomonim dan mencium kakinya. Ia terus mengulang kata ‘maaf’ dan ‘ampun’. Eomonim membantu Siwon untuk bangkit. Ia merengkuh wajah anaknya tersebut. “Bukan eomma yang seharusnya kau mintai maaf,” lantas ia mengedikkan kepalanya padaku. “Istrimu. Kau sudah sangat melukainya. Dan bersyukurlah kau dikirimkan istri sesabar dia yang masih setia berdiri di sampingmu hingga saat ini.”
Siwon menangis semakin kencang. Dia bangkit dan berjalan ke arahku. Dia berlutut di hadapanku, memeluk kakiku dan berkali-kali menciuminya sambil tak berhenti meminta maaf. Aku menariknya meminta agar ia segera bangun. Setelah itu ia memelukku erat. Tak ada alasan lagi bagiku untuk marah padanya. Choi Siwon, suamiku… Kau kumaafkan…

To Be Continue ………

share by superdiya.wordpress.com

 

Tidak ada komentar: