^^Super Junior
FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^
[Part VII]
PAGI-PAGI sekali aku sudah bangun. Kulihat Siwon masih
terlelap dibungkus selimutnya. Aku menghela napasku berat. Rasanya seperti ada
gundukan batu yang mengendap di dadaku. Hatiku perih tersayat jika teringat
kejadian semalam saat kami bertengkar.
Kubereskan selimut dan menyimpannya dalam lemari, lalu pergi
mandi. Setelah itu, buru-buru aku keluar kamar sebelum Siwon terbangun. Aku
belum mau melihat wajahnya, karena selalu terbesit ingatan janinku setiap
kali melihat wajahnya.
Kulihat eomonim tengah menyiapkan sarapan di meja makan. Aku
menyapanya dan ia, entah perasaanku saja atau memang benar, terlihat sangat
segar, sehat, dan lebih muda dari sebelumnya. Ia tersenyum lembut padaku dan
memelukku kilat. Baiklah, di satu sisi kuakui memang senang sekali melihatnya
kini sangat perhatian padaku. Tetapi di sisi lain, putranya selalu menyakitiku.
Aku benar-benar dilema dengan apa yang harus kulakukan nanti.
“Sarapan sudah siap. Chaesa-ya, bisa kau panggilkan Jiwon dan Siwon?” pinta eomonim.
“Sarapan sudah siap. Chaesa-ya, bisa kau panggilkan Jiwon dan Siwon?” pinta eomonim.
“Oh… Ne,
Eomonim.”
Aku berjalan ke arah tangga dan menaikinya. Berbelok ke kiri
menuju koridor yang di dindingnya dipasangi lukisan-lukisan keluarga mereka
dari yang paling moyang. Aku sampai di kamar paling ujung. Kuketuk pintunya dan
Jiwon menyahut.
“Iya, aku segera ke bawah.”
Aku berbalik menjauhi pintu. Kini aku berjalan menuju sebrang
koridor. Di mana terdapat sebuah pintu kayu tebal dan kumasuki. Kulihat kasur
sudah rapi dibereskan. Siwon pasti sudah bangun. Kubalikkan tubuhku untuk
keluar dan kembali ke bawah, namun seseorang memelukku dari belakang.
“Lepaskan!” pintaku dingin.
Siwon meletakkan kepalanya di bahu kananku dan mengeratkan
pelukannya pada perutku, “Aniyo!”
Kulepas paksa kaitan tangannya dari perutku, “Eomonim sudah
menunggu kita di bawah.”
“Oh ya, apa ia sehat? Kulihat kemarin ia sangat pucat.”
“Sangat sehat!”
Aku melangkah keluar kamar menginggalkannya. Sesampainya di
bawah, aku langsung duduk di kursi meja makan dan mulai menyantap sarapannya.
Siwon menuruni tangga kemudian duduk di sampingku. Ia menyapa riang seluruh
anggota keluarga. Mereka saling bercengkrama, hanya aku sendiri yang makan
dalam diam.
“Chaesa-ya, hari ini kau mau kemana?” tanya abeonim semangat,
seperti tak terjadi hal apapun sebelumnya.
“Seperti biasa, studio balet. Kami sudah mendapatkan murid
sekarang…,” kudengar Jiwon tersedak.
“Lho, bukankah murid baletmu memang sudah ada sedari dulu?”
“Ah?” sekarang aku mengerti mengapa Jiwon tersedak, ah bodoh
sekali aku! “Oh, ne.
Maksudku, kini haksaengnya
semakin bertambah banyak.”
Abeonim mengangguk dan melanjutkan makannya. Sedangkan aku
bernapas lega. Kulirikkan mataku ke samping kanan. Ternyata sedari tadi Siwon
memperhatikanku. Kualihkan pandanganku. Entah kenapa rasanya kurang nyaman.
Kuakui amarahku padanya belum reda. Siwon terlalu menganggap enteng semua ini.
Dia tak peka dengan perasaan orang lain.
“Kami pergi…,” pamitku seraya menarik lengan Jiwon yang
kebingungan.
“Hati-hati!” teriak abeonim dan eomonim bersamaan. Entah
bagaimana ekspresi Siwon. Aku tak melihat lagi ke belakang.
—
“Ada apa ini?” tanya Jiwon terengah-engah kelelahan karena
setengah kuseret.
“Oppamu berbohong. Kami tidak tinggal bersama kemarin. Aku
tinggal di rumahku yang dulu dan sama sekali tak tahu kalau Siwon juga
meninggalkan rumah.”
“Ne?!
Maksud eonni apa?”
“Lupakan!”
Jiwon menghela napasnya. Ia tak bertanya apapun lagi. Ia
mengerti bagaimana perasaanku yang kacau saat ini. Kami berjalan menuju sebuah
halte dan menunggu bis datang. Setiap kali pergi ke studio balet, kami memang
jarang menggunakan mobil pribadi. Terlalu mencolok. Mobil yang dimiliki
keluarga Choi adalah mobil kelas atas. Sedangkan mobil sederhanaku kutinggal di
rumahku yang dulu.
Kami menaiki bisnya ketika sudah datang. Duduk di bangku paling
belakang dan menikmati perjalanan melihat orang berlalu-lalang di depan
pertokoan. Beberapa menit kemudian, bis kembali berhenti di sebuah halte. Kami
turun dan berjalan menuju sebuah gedung.
Baru setengah jalan masuk, kulihat mobil Siwon terparkir di
halaman. Jiwon mendekati mobil itu untuk memastikan.
“Ini benar mobil oppa. Mau apa dia kemari?” ujar Jiwon lantas
berlari masuk ke dalam. Aku mau tak mau menyusulnya.
Kulihat Jiwon memasuki kantor, aku pun mengikutinya. Di sana aku
melihat Siwon. Di tangan kanannya teremas sebuah kertas. Seluruh tubuhnya
bergetar.
“Oppa,” panggil Jiwon.
Siwon pun menoleh, penuh amarah. Kulihat tangan yang meremas
kertas itu mengeluarkan urat-uratnya yang besar.
“Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa kalian tak memberitahuku?”
tanyanya sambil mengertakan gigi.
“Apanya?” tanya Jiwon polos. Aku tahu apa yang Siwon maksud.
Kertas yang diremasnya itu adalah selebaran mengenai pencarian murid.
“Mengapa kalian tak memberitahuku kalau kemarin keadaan kalian
terjepit?!” teriaknya membuatku dan Jiwon mundur beberapa langkah.
“Itu…itu…,” Jiwon mulai kelabakan.
“Kami tak ingin membuatmu memikirkan hal ini. Kau juga mempunyai
pekerjaan, kan?”
Siwon melemaskan rahangnya dan sikapnya sedikit melunak
sekarang, “Chaesa-ya, aku suamimu. Aku juga berhak tahu.”
Jiwon pergi keluar meninggalkan kami.
“Sudahlah. Masa kritis itu sudah lewat. Lagipula kau datang di
saat sesuatu yang buruk telah terjadi. Sepertinya kau takkan mempedulikanku
jika hal itu tak ada. Iya kan? Apa ini sebuah sogokan agar aku tutup mulut?”
Kulihat rahang Siwon kembali mengeras, “Kau tak adil. Kau hanya
cukup memberitahuku…”
“Apa kau mengangkat teleponku? Saat di China kau bahkan
melupakanku. Kau bersenang-senang bersama Heebon, padahal kau bilang terlalu
sibuk sehingga tak memiliki waktu untuk menghubungiku. Lalu apakah ini pantas
disebut adil?”
Siwon berjalan mendekatiku. Ia menjatuhkan kertas yang
digenggamnya dan memelukku. Aku tahu dia menyesali perbuatannya. Aku yakin kini
dia telah menyadari kesalahannya. Ia melepaskan pelukannya dan merengkuh
wajahku.
“Mianhae…”
Kupejamkan mataku dan kutundukkan wajahku, kecewa. Bukan, bukan
kata-kata itu yang kuharapkan keluar dari mulutnya. Aku ingin mendengar kata
‘cinta’ darinya. Jika ia mengucapkannya sekarang, maka akan kulupakan semua
kesalahannya.
Siwon membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, “Aku…”
~Oppaaaaa…~
Hpnya berbunyi. Sebentar, suara siapa tadi? Aku tak pernah
merekam suaraku di hpnya. Dan belum pernah memanggil Siwon dengan sebutan
‘oppa’ karena kami seumuran. Apa itu suara Heebon?
Siwon mundur menjauhiku. Dia menerima panggilan teleponnya. “Tak
bisa. Aku sibuk,” ujarnya lalu menutup teleponnya.
“Heebon?” tanyaku.
Siwon terdiam, masih mengutak-atik hpnya. Sepertinya ia sedang
mengganti nada deringnya. Hhhh… Jangan takut ketahuan, Siwon. Karena aku sudah
mengetahui perasaanmu padanya sejak dulu.
“Iya,” jawabnya singkat. “Dia memintaku menemaninya latihan.
Kubilang tak bisa karena…”
“Karena aku? Tak apa-apa jika kau mau…”
“Aku tak mau!”
Aku tersenyum simpul. Ada apa ini? Kenapa tumben sekali ia
menolak permintaan Heebon? Jangan bilang kalau ia sedang membaik-baikkiku agar
tetap menutup mulut menjaga rahasianya.
“Aku harus mengajar.”
“Chaesa-ya…,” panggilnya dan berjalan mendekatiku, “…kumohon
jangan membenciku. Jika kau memerlukan sesuatu, kau bisa menghubungiku. Jangan
lupakan bahwa aku suamimu. Kumohon!”
Aku tersenyum, dan lagi-lagi simpul. Aku tak menyahutnya, pergi
tanpa kata…
—
KUSUNGGINGKAN bibirku, memberikan senyuman termanis pada seluruh
haksaengku walau
dalam hati itu semua berkebalikan. Di sudut ruangan kulihat Donghae tengah
duduk menorehkan tanda tangannya untuk dibagikan pada semua haksaengku. Rupanya
hari ini gilirannya yang datang kemari. Ini pertama kali aku melihatnya setelah
kejadian ironis beberapa minggu lalu.
Kuhampiri dia yang kini sedang asik melayani foto bersama
penggemarnya. Dia menoleh dan melihatku. Auranya sangat baik, dia terlihat
sangat cerah hari ini.
“Apa kabar?” sapaku.
“Sakit semenjak kau menghilang,” jawab Donghae seenaknya.
Beberapa fans yang mendengar jawabannya langsung mengeluarkan
ekspresi aneh dan menangis massal, “Oppaaaa…”
“Hyaaa, aku hanya bercanda. Dia sudah bersuami!”
Lantas mereka semua mengalihkan perhatiannya padaku, masih
menangis massal “Saem~”
“Wae?”
tanyaku bingung, “Donghae-sshi hanya bercanda. Dan aku takkan pernah
memperlihatkan kebersamaanku dengan Siwon di sini. Oke? Ayo, sekarang kalian
latihan!”
Mereka menurut dan meninggalkan aku dengan Donghae. Ya, itu
janjiku. Takkan pernah memperlihatkan kebersamaanku dengan Siwon. Lagipula
dalam situasi seperti ini, itu tak mungkin ‘kan?
Aku dan Donghae mengobrol banyak. Dia mencurahkan seluruh keluh
kesahnya saat aku tak ada. Dia bilang kalau dia juga mencariku dan tak pernah
berhenti bertanya pada Siwon aku berada di mana. Siwon tidak menjawab dengan
kata-kata. Dia menjawab dengan perlakuan buruknya terhadap Donghae. Sejak
kejadian itu hubungan mereka merenggang. Saling menyalahkan satu sama lain.
“Saat kau terjatuh, akulah yang lebih dulu menyadarinya dan
menyentuh pahamu. Maaf, sudah lancang!” aku Donghae.
Kudongakkan wajahku dan memandangnya lekat-lekat. Jadi, itu dia?
Bukan Siwon?
Donghae melanjutkan lagi pembicaraannya, “Siwon sangat panik dan
syok. Yang bisa dia lakukan saat itu hanya menggendongmu sambil berteriak
histeris dan membawamu lari ke rumah sakit. Dia menolak ketika kutawari untuk
naik mobilku. Dia membawamu lari menempuh beberapa kilometer. Dan ketika sampai
di rumah sakit, dia jatuh pingsan. Saat kau siuman, Siwon pun baru tersadar dan
ia bersikukuh ingin menemuimu. Selang infuse yang menancap di tangannya ia
cabut dengan paksa sehingga tangannya mengalami pendarahan. Ia
menyembunyikannya di balik baju agar kau tak dapat melihatnya. Namun setelah
kau memintanya keluar kamar, ia kehilangan kesadarannya kembali karena terlalu
banyak kehilangan darah. Dan keesokan harinya ketika ia siuman, ia sudah
membenciku.”
Kudongakkan kepalaku untuk menahan agar tak ada air mata yang
mengalir. Memalukan sekali jika itu terjadi. Apa tanggapan semua orang yang ada
di sana jika melihatku menangis.
“Uljima!”
bisik Donghae di telingaku.
Setelah merasa lebih baik, kualihkan pandanganku ke arah para
haksaeng yang sedang berlatih. Namun di pintu masuk kulihat Siwon tengah
memandang dingin ke arahku dan Donghae. Aku membeku. Dia pasti melihat
perlakuan Donghae tadi saat memintaku untuk tak menangis. Oh tidak, jangan
salah paham kumohon. Aku tak ingin hubungan mereka kian memburuk. Tak lama
setelah itu Siwon beranjak dari tempatnya. Aku berlari menyusulnya, tetapi tak
sampai beberapa langkah, kudengar hp-nya berdering, kuhentikan langkahku.
“Oh, Heebon-ah. Iya, aku segera ke sana.”
Heebon lagi… Kubiarkan Siwon pergi jika memang bersama Heebon
membuatnya bahagia. Aku akan mulai membiasakan diri bernapas tanpanya.
—
Siwon’s Room. Juli 2010 – 01:25AM.
PERLAKUAN Siwon akhir-akhir ini sudah mencapai fase aneh. Setiap
hari sepulang bekerja ia akan selalu membawakanku buket bunga. Tak peduli pukul
berapa ia sampai rumah, bunga itu selalu tampak segar seperti baru dipetik.
Apakah pukul dua pagi masih ada toko bunga yang buka?
Jika aku sudah terlelap, ia akan menaruhnya di samping kepalaku.
Sengaja agar aku menghirup aromanya dan terbangun.
“Baiklah ini hari ketujuh. Katakan padaku apa sebenarnya yang
sedang kau lakukan? Ini sangat mengganggu. Aku kerap terbangun pada dini hari,”
protesku.
“Terganggu?” sahutnya dan kulihat ekspresi kecewa dari matanya.
“Mmm… Maksudku, aku kan harus bangun pukul lima pagi untuk
membantu eomonim dan Jiwon menyiapkan sarapan setelah itu pergi mengajar. Akhir-akhir
ini aku tak dapat lagi bangun pagi.”
Siwon berjalan menghampiriku dan menggendongku lalu
ditidurkannya aku ke kasur. Karena terkejut, sontak aku bangun dan kembali ke
sofa.
“Mau sampai kapan kau tidur di sana? Aku tahu bagaimana rasanya
tidur di sofa. Seluruh badan terasa pegal. Chaesa-ya, kau masih belum bisa
memaafkanku?”
“Akan kumaafkan jika kau mengakui perbuatanmu.”
“Pasti…pasti akan kuakui di depan eomma, appa, dan Jiwon…”
“Janji?”
Siwon mengangkat kelima jarinya, “Aku bersumpah. Jadi, kau mau
kan meninggalkan sofa itu dan kembali tidur di kasur?”
“Aniyo.
Kubilang akan kulakukan jika kau sudah mengakui, bukan hanya bersumpah.”
Kulihat Siwon pasrah dan naik ke atas kasur tanpa mengganti
pakaiannya.
Keesokan paginya…
Pagi ini adalah pagi paling menegangkan bagi Siwon. Semalam dia
sudah bersumpah akan mengakuinya. Aku ingin dia menepati janjinya hari ini. Aku
ingin melihat Siwon hidup tenang tanpa dihantui rasa bersalah.
“Eomma, sehatkah?” tanya Siwon hati-hati.
“Ne.
kalian bertiga sehat?” eomonim balik bertanya, aku, Siwon dan Jiwon pun
mengangguk.
“Ada yang ingin kusampaikan…”
“Nanti saja setelah selesai sarapan,” potong abeonim dan Siwon
menurut. Kami semua melanjutkan sarapan. Setelah selesai, barulah Siwon mulai
menyinggung hal itu lagi. “Harus kusampaikan sekarang juga. Aku tak tahan jika
harus menahannya berlama-lama.”
Kami semua menanti. Sejujurnya aku sangat takut. Apa yang akan
dilakukan abeonim jika ia mengetahui bahwa putranya sendiri yang telah
membuatnya kehilangan calon cucunya? Aku juga sangat mengkhawatirkan kesehatan
eomonim.
“Penyebab Chaesa kehilangan janinnya bukan karena kecerobohannya
sendiri…,” Siwon memulai pembicaraannya sambil menghela napasnya tegang, “…tapi
karena aku.”
Tak ada yang mengerti. Mereka bertiga berlomba mengerutkan dahi.
Siwon menceritakan seluruhnya secara mendetail. Tak ada yang ia tutupi, bahkan
Heebon pun ia ceritakan. Bagaimana perasaannya setelah menikah denganku,
bagaimana keadaan kegiatan baletku yang hampir gulung tikar, bagaimana ia
memanfaatkanku sebagai pemuas nafsu di malam itu, dan tunggu… PEMUAS NAFSU?!
“NE?!”
pekikku.
“Saat itu yang ada dalam pikiranku adalah Heebon, bukan kau. Mianhaeyo! Cheongmal mianhaeyo, Chaesa-ya…”
Abeonim berdiri meninggalkan kursinya, ia berjalan menghampiri
Siwon lalu menamparnya tiga kali berturut-turut kemudian menghempaskan Siwon
dengan kasar hingga ia tersungkur. Lantas abeonim berjalan menghampiriku dan
berlutut di hadapanku.
“Abeonim,” panggilku memintanya untuk berdiri.
“Mianhae, Chaesa-ya.
Aku benar-benar tak tahu kalau kau semenderita ini. Aku yang membuat kalian
menikah dalam keadaan terpaksa. Maaf karena telah membuatmu menikah dengan
putraku yang bodoh. Maafkan aku, Chaesa-ya…”
“Abeonim,” panggilku sambil menangis dan berusaha sekuat tenaga
membuatnya agar tak berlutut lagi, “Kumohon jangan seperti ini!”
Siwon menghampiri eomonim dan mencium kakinya. Ia terus
mengulang kata ‘maaf’ dan ‘ampun’. Eomonim membantu Siwon untuk bangkit. Ia
merengkuh wajah anaknya tersebut. “Bukan eomma yang seharusnya kau mintai maaf,”
lantas ia mengedikkan kepalanya padaku. “Istrimu. Kau sudah sangat melukainya.
Dan bersyukurlah kau dikirimkan istri sesabar dia yang masih setia berdiri di
sampingmu hingga saat ini.”
Siwon menangis semakin kencang. Dia bangkit dan berjalan ke
arahku. Dia berlutut di hadapanku, memeluk kakiku dan berkali-kali menciuminya
sambil tak berhenti meminta maaf. Aku menariknya meminta agar ia segera bangun.
Setelah itu ia memelukku erat. Tak ada alasan lagi bagiku untuk marah padanya.
Choi Siwon, suamiku… Kau kumaafkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar