^^Super Junior
FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^
[Part VIII]
Mid July 2010 – 10:35AM.
KURAPIKAN bajuku dan kusambar mantel, kunci mobil, serta tas
dari atas meja rias. Kulangkahkan kakiku keluar kamar. Kemudian menyalakan
mesin mobil saat sampai di halaman dan melesat keluar rumah. Setelah kejadian
beberapa hari yang lalu, aku merasa secara resmi telah menjadi istri dari Choi
Siwon. Walaupun sampai saat ini dia masih saja belum mengatakan kalau dia
mencintaiku, tapi sejauh ini sikapnya sangat baik terhadapku.
Kemarin sore Heebon meneleponku dan bilang ingin bertemu.
Awalnya aku menolak, tapi dia tak henti-hentinya memohon sambil menangis.
Karena tak tega, aku menyetujui permintaannya. Sekarang aku sedang dalam
perjalanan menuju dorm Angela.
Siwon semakin sibuk sekarang, bahkan ia jarang pulang. Dia baru saja memulai syuting film perdananya. Sebuah kemajuan pesat! Aku senang sekali saat mengetahuinya. Bermain film merupakan salah satu impian Siwon. Ingin sekali bertemu dengannya, tapi sayang sudah lima hari ini ia sibuk syuting di luar negeri.
Siwon semakin sibuk sekarang, bahkan ia jarang pulang. Dia baru saja memulai syuting film perdananya. Sebuah kemajuan pesat! Aku senang sekali saat mengetahuinya. Bermain film merupakan salah satu impian Siwon. Ingin sekali bertemu dengannya, tapi sayang sudah lima hari ini ia sibuk syuting di luar negeri.
Kuparkirkan mobilku dan masuk ke dalam sebuah gedung apartement
yang masih satu lingkungan dengan dorm Super Junior namun berbeda gedung.
Kumasuki liftnya dan berhenti di lantai lima.
Sekarang aku berdiri di depan pintu dorm Angela. Mengatur napas
agar lebih rileks kemudian menekan interphone. “Ini aku…”
Tak lama kemudian pintu terbuka. Yuki menyambutku ramah, aku
masuk ke dalam setelah dipersilakan. Saat memasuki ruang tengah, aku terkejut
melihat keadaannya yang sangat kacau. Benar-benar berantakan seperti baru saja
kebobolan maling. Dengan hati-hati aku bertanya pada Yuki.
“Heebon-eonni yang melakukannya,” jawabnya sembari menunjuk
sebuah kamar.
Aku masuk ke dalam kamar yang ditunjuk Yuki dan menemukan Heebon
tengah berbaring lemah sambil menangis. Dia menoleh saat menyadari kehadiranku
dan buru-buru menghambur ke arahku dan memelukku dengan erat.
“Chaesa-eonni, aku memang perempuan jahat. Jika tidak, mana
mungkin aku memintamu untuk datang kemari.”
“A-apa maksudmu?” tanyaku bingung dan Yuki keluar meninggalkan
kami.
Heebon melepaskan pelukannya, kini dia berlutut di hadapanku.
“Kumohon lepaskan dia!”
“Mwo?
Aku tak mengerti, siapa yang kau maksud ‘dia’?”
“Siwon-oppa! Kumohon lepaskan dia, Eonni. Aku benar-benar
memohon padamu. Aku tak peduli lagi dengan harga diriku. Aku benar-benar ingin
dia ada di sisiku…”
“Tapi, dia memang selalu
berada di sisimu!”
“Sebagai suamiku! Bukan sebagai rekan kerja atau teman. Eonni,
jika kau memang seorang wanita, kau pastinya paham bagaimana perasaanku saat
ini. Aku benar-benar tak dapat hidup tanpanya. Eonni, jebal…”
Aku menggeleng keras, mulai ketakutan. Dia melihat gelengan
kepalaku dan langsung memeluk kedua kakiku.
“Atas nama Tuhan. Eonni, aku benar-benar sangat memohon padamu.
Lebih baik mati daripada hidup tanpa Choi Siwon!” jeritnya, “Eonni, pahamilah
perasaanku!”
“Lalu bagaimana denganku? Apa kau memahami perasaanku? Aku juga
mencintainya. Sangat mencintainya…”
“Kenapa kau datang dan memisahkan kami?” tanyanya menohok hatiku
dan tiba-tiba saja perasaan bersalah menjalar dalam diriku.
“M-mwoya?”
“Lagipula bukankah eonni pernah berjanji padaku akan
menggugatnya cerai jika sudah tak mengandung lagi?”
DEG!
Brengsek! Dia membuka lagi luka lamaku. Dengan susah payah aku
menutupnya dan kini dengan mudahnya dia membobol paksa membuka lukaku. Dengan
paksa dan tanpa merasa kasihan aku berkutat melepaskan diri dari pelukannya dan
berusaha keluar kamar.
“Eonni!” jeritnya. “Lebih baik aku mati!”
Aku tak peduli dan keluar dari sana. Tetapi ketika sampai di
ruang tengah, Yuki menghalangiku di pintu keluar.
“Eonni, maaf aku sudah ikut campur, tapi kumohon pikirkanlah
lagi! Sudah hampir seminggu Heebon-eonni tak makan karena Siwon sunbaenim sama
sekali tidak menghubunginya. Berkali-kali dia mencoba untuk bunuh diri tapi
selalu berhasil kami gagalkan. Kegiatan Angela hampir lumpuh. Padahal menjadi
artis adalah impian terbesarnya selama ini. Dia mengorbankan seluruh hidupnya
hanya untuk meraih impiannya tersebut. Eonni, Siwon sunbaenim adalah salah satu
impian terbesarnya juga. Kumohon jangan hancurkan hidupnya seperti ini!”
Aku menarik napas meredam amarah dan berusaha menahan diri untuk
tak menangis, “Jika nanti dia mendapatkan apa yang diinginkannya, lalu
bagaimana aku melanjutkan hidupku?”
Yuki membuka mulutnya lagi, namun aku segera pergi dari sana.
Terlalu lama di sana membuatku gila. Astaga, baru kali ini aku bertemu dengan
orang seperti mereka. Jadi, sebenarnya yang egois itu aku atau mereka?
Kuinjak pedal gas dalam-dalam. Pikiranku penuh dengan kejadian
barusan. Apa yang harus kulakukan? Aku juga merasakan apa yang dirasakan oleh
Heebon. Aku tahu itu sangat sakit dan menderita, tapi apa aku harus
mengorbankan semuanya setelah seluruh keluarga Siwon mulai menerimaku dengan
hangat? Dari sisi mana hal ini dapat dikatakan adil? Dari sudut pandangku atau
Heebon? Mengapa kami harus dipusingkan dengan lelaki yang sama, yang bahkan
mungkin sekarang kami berdua tak ada dalam pikirannya sama sekali.
Hp-ku berdering. Kuselipkan headset ke lubang telingaku. “Yoboseyo?”
“Chaesa-ya, eodiga? Aku ada di bandara sekarang. Baru saja tiba.
Aku akan langsung pulang ke rumah.”
Siwon! Hebat, dia panjang umur. “Tidak. Jangan ke rumah! Aku
akan menjemputmu. Kebetulan aku sedang di luar. Tunggulah, beberapa menit lagi
aku sampai.”
YYY
SIWON mengayuh sepedanya kencang sekali meninggalkanku di
belakang. Aku berteriak-teriak memanggilnya agar dia mau melambatkan laju
sepedanya sehingga kami dapat berjalan beriringan dan mengobrol enak. Kini kami
sudah berada di pinggiran sungai Han zona bersepeda. Kami kemari atas usulku.
“Yeobo, berhenti!” teriakku dan Siwon menurut. Dengan napas
tersengal aku mengayuh sepedaku untuk sampai ke tempatnya. “Kita istirahat
dulu.”
Siwon tersenyum geli melihatku tersengal-sengal. Dia membantuku
memarkirkan sepeda dan membeli minuman. Setelah itu kami duduk di anak tangga
yang menghadap sungai. Cuaca siang ini sangat cerah, benar-benar mendukung.
“Apa saja yang kau kerjakan selama aku tak ada?”
“Apa lagi? Tentu saja mengajar balet.”
Dia menyeruput kopinya, “Melihat Donghae?”
“Aniyo,
dia sedang sangat sibuk menciptakan lagu. Begitu pula dengan Jiwon yang sibuk
menyiapkan konsep pernikahannya…”
“Pernikahan?”
“Ne,
kau belum diberitahu mereka?”
“Haissshhh si monyet itu benar-benar…,” aku terkikik geli dan
dia menatapku, “…jadi selama ini kau dengan siapa?”
“Seera-eonni. Aku membantunya menjaga Chansoo. Hitung-hitung
belajar, kan?” tanyaku riang namun langsung menyadari betapa bodohnya aku
berkata seperti itu. Siwon membatu, dia masih menatapku lekat dan sepertinya
sedang memikirkan sesuatu.
“Sebegitu inginnyakah kau memiliki anak?” tanyanya hati-hati.
Aku memilin ujung bajuku karena gugup dan memutar otak memilih
kata-kata yang tepat. “Ya, terlebih lagi jika itu benihmu. Kupikir aku akan menjadi
seorang wanita yang paling bahagia di dunia.”
Siwon tersenyum senang dan dia menggendongku masuk ke dalam
mobil.
“Yeobo, sepedanya harus dikembalikan…”
“Tak apa-apa, sudah kubeli. Ayo, kita pulang! Aku lapar…”
Kukalungkan tangan kananku ke lehernya, sedangkan yang kiri
membelai pipinya. “Lapar? Dengan wajah mesum seperti ini?”
“Hahaha,” dia menurunkanku dan membuka pintu mobil, kali ini dia
yang menyetir, “Kyuhyun bilang padaku kalau dia kecewa karena tak jadi memiliki
keponakan dari kita. Mengatakan hal itu sambil menangis di hadapanku. Jadi,
lebih baik kita pulang dan memberikannya keponakan.”
MWO?! Astaga wajahku pasti sudah sangat memerah sekarang. Siwon
melirikku dengan tatapan nakal. Apa-apaan ini? Makan apa dia selama di luar
negeri? Apa…kopi tadi memabukkan?
YYY
Choi’s House. August 2010 – 03:05PM.
“Yeobo, sudah menjenguk Heebon?” tanyaku dan Siwon menggeleng.
“Kemarin dia dilarikan ke rumah sakit karena mencoba bunuh diri lagi. Pasti
saat ini dia sangat membutuhkanmu. Datanglah jenguk dia!”
“Tapi…”
“Aku yang memintamu, jangan merasa tak enak. Ayo, sekarang
bersiaplah!”
Siwon bangkit, masih memperhatikanku yang sibuk mempersiapkan
diri. “Benar tak apa-apa?”
Aku menghentikan kegiatanku dan menoleh kemudian berjalan
menghampirinya. Kutepuk bahunya dan mengusap dadanya yang bidang dengan kedua
tanganku. “Dia sangat membutuhkanmu. Tapi, aku juga ikut!”
Siwon tersenyum lembut dan mengangguk.
Sesampainya di rumah sakit, kami mendapat kesulitan untuk masuk.
Banyak sekali wartawan di sana. Belum lagi para penggemarnya yang berkumpul di
depan halaman rumah sakit. Kebanyakan dari mereka menangis khawatir. Kata-kata
Yuki berkelebat di pikiranku, “Menjadi
artis adalah impian terbesarnya selama ini…” Entah kenapa perasaan
bersalah itu tiba-tiba muncul lagi.
Setelah berhasil masuk ke dalam melalui pintu belakang, Siwon
meninggalkanku dengan setengah berlari. Dia pasti khawatir. Biar bagaimanapun,
dia mencintai gadis itu kan? Atau setidaknya mereka pernah bersama walau belum
berstatus resmi menjadi kekasih. Oh, tidak! Ini mulai lagi. Mataku memanas.
Aigoo, Chaesa, ini bukan waktunya untuk cemburu!
“Aku ke toilet,” pamitku.
“Ne,
aku ke sana duluan. Nanti kau menyusul, ya!”
“Ne.”
Di toilet aku hanya mencuci tangan. Air mata yang menggenang di
pelupuk mata tiba-tiba mengering ketika jarakku dengan Siwon menjauh. Berada di
dekatnya memang membuatku lebih rajin menangis.
Kurapikan lagi riasanku dan bergegas menuju ruang rawat Heebon.
Aku berjalan perlahan, memikirkan apa yang akan kukatakan nanti. Dia mencoba
menghabisi hidupnya karena aku berkeras tak ingin melepaskan Siwon. Tapi, apa
ini salahku sepenuhnya? Siwon pria pertama yang dekat denganku, dialah cinta
pertamaku. Jika Heebon menganggap Siwon sebagai impian terbesarnya, maka harus
kukatakan kalau aku dilahirkan untuk melengkapi kehidupan Siwon sebagai
istrinya. Apa itu masih bisa dikatakan adil? Aigoo, jangan bilang kalau aku
harus berbagi suami dengannya. Aku menentang keras poligami.
Berdiri di depan pintu seperti orang linglung. Menghitung kapan
waktu yang tepat agar aku bisa masuk dan tak memotong perbincangan mereka.
Sudah berapa lama aku di sini? Benar-benar bodoh. Saat ini Siwon masih
berstatus sebagai suamiku. Seluruh keluarganya dengan suara bulat sudah
menerima kehadiranku. Seharusnya hal itu membuatku lebih tenang
tapi…entahlah…aku merasa belum memenangkan hati Siwon. Dan itu membuatku takut.
Tanganku terangkat dan berhasil mencengkeram pegangan pintu.
“Rileks,” gumamku menenangkan diri. Kugeser pintunya dan…astaga…aku melihat
suamiku tengah berciuman dengan Heebon. Aku tak menggubris mereka. Mataku
terpaku melihat pemandangan laknat itu. Wajahku memanas, jantung bekerja dua
kali lipat, dadaku sesak sekali. Air mataku meleleh, masih tanpa ekspresi.
Mereka mengakhiri ciumannya karena Heebon menyadari kehadiranku.
Siwon yang bingung mengikuti arah pandang matanya dan sampai padaku.
“Chaesa-ya,” panggilnya terkejut dan buru-buru menghampiriku.
“Tolong jangan salah paham!”
Aku masih diam karena syok. Siwon mengguncang-guncang tubuhku
memastikan kalau aku mendengarkannya. Tapi sayang, tak ada satu pun dari
kata-katanya yang berhasil menembus pikiranku. Kutepis tangannya, kulepaskan
tanganku yang masih mencengkeram pegangan pintu lalu berbalik untuk pulang. Di
sana, di ujung koridor kulihat Donghae sedang menyaksikan kami, atau lebih
tepatnya menyaksikan Siwon yang memaksaku untuk mendengarkannya dengan
mengguncang-guncang tubuhku. Dia berlari mendekati kami, di tangan kanannya
terdapat sebuket bunga.
“Lepaskan! Kau menyakitinya,” pinta Donghae.
Siwon melepaskan tangannya dari bahuku. “Chaesa-ya,” panggilnya
dan aku masih tak dapat berbicara. Lidahku kelu.
Donghae mengeluarkan saputangan dari saku celananya dan
menghapus air mataku. “Uljima!”
“Biar aku saja,” ujar Siwon ketus namun Donghae menarik
saputangannya.
“Kau pakai punyamu!”
Siwon merogoh saku celananya mencari saputangan tetapi nihil.
Kemudian Donghae melemparkan buket bunganya ke dada Siwon dan menarik tanganku
mengajak pergi dari sana.
“Bilang padanya kalau aku datang dan jangan melakukan hal bodoh lagi!”
“Tunggu! Kalian mau kemana? Chaesa akan pulang bersamaku,” cegah
Siwon.
“Aku benar-benar muak denganmu. Selalu saja membuat istri
sendiri menangis. Pikirkanlah kembali ucapanku saat di China dulu!”
Rahang Siwon mengeras dan setengah berteriak, “Andwae!”
Donghae menarik tanganku. Siwon sempat akan mencegah kami pergi,
namun Heebon memanggilnya. “Chaesa-ya,” panggilnya putus asa.
Aku menoleh padanya sekejap, setelah itu mengalihkannya pada
Donghae yang tersenyum hangat sambil menggenggam tanganku.
YYY
Cheongdam Park – 06:40PM.
KUHAPUS air mataku yang baru saja selesai menangis sepuasnya di
bahu pinjaman Donghae. Dia memberikanku sebotol air mineral dan berjalan
menjauhiku menaiki sebuah ayunan. “Kau bilang mereka ciuman?”
Aku mengangguk.
“Sekarang bagaimana?”
“Apanya?”
“Apa yang akan kau lakukan?”
Aku menggeleng. Donghae menjauhi ayunan dan kini duduk di atas
jungkitan, menatapku dengan tatapan penuh pikiran.
“Wae?”
tanyaku risih diperhatikan seperti itu.
“Aku baru menyadarinya ketika kau berlari mengejar Siwon di
studio balet waktu itu. Jujur saja dadaku saat itu tiba-tiba sakit…”
“Kau mengidap penyakit?”
“Haisshhh, bukan itu! Tiba-tiba saja seperti ingin mengejarmu
dan menyeretmu untuk tetap berada di sampingku, bukan mengejar Siwon.”
Aku mengerutkan dahiku. Bicara apa dia? Aku sama sekali tak
mengerti.
“Oke, yang tadi berbelit. Begini, Chaesa-ya, aku pernah
mengatakan sesuatu pada Siwon di China,” dia merubah posisi duduknya. “Kubilang
kalau aku mencintaimu dan berniat merebutmu darinya…”
Aku tersedak dan menyemburkan air mineral yang sedang kuteguk.
Di tengah batuk, kulirik Donghae yang wajahnya kini benar-benar memerah. Aigoo
anak itu…
“Kau habis berapa botol sebelum ke rumah sakit?”
Dia menoleh dengan wajah sedikit kesal, “Justru aku yang ingin
bertanya padamu, apa air mineral bisa memabukkan? Jangan jadi gila!”
“Kau yang gila. Kupikir serius, ternyata hanya lelucon untuk
menghiburku. Oke, kau hebat, aku tertawa sekarang. Ayo, antar aku pulang!”
Dia menarik tanganku, “Aku tak bercanda. Aku sangat mencintaimu,
Shim Chaesa.”
Aku menelan ludahku. Luar biasa untuk hari ini. Ada dua pria
memberikanku kejutan mematikan. Kutarik tanganku dan melipatnya, buru-buru
bergegas dari sana tetapi Donghae berhasil mengejarku.
“Aku mencintainya, Hae. Dialah seluruh hidupku,” ujarku saat
Donghae berhasil menyenyajarkan langkahnya denganku.
“Dia bukan seluruh hidupmu. Tidak lagi. Sekarang dia harus
menghadapi konsekuensi dari perbuatan dan rivalnya, aku!”
Kuputar bola mataku kesal, “Kau benar-benar nekat dan senang menyiksa
diri sendiri.”
“Yep. Aku belajar darimu,” ujarnya dan kini dia menyentuh
rambutku dan menciumnya.
“Bisa tidak kau bersikap lebih baik, paling tidak?”
Dia tertawa. “Tidak bisa. Chaesa-ya, aku tahu kau nyaman jika
sedang berada di dekatku. Aku tak pernah membuatmu menangis setidaknya.”
“Kau benar,” bisikku.
“Jangan lupa kalau kau memiliki pilihan. Hidup menderita
bersamanya atau bahagia bersamaku?”
“Tak ada, aku tak punya pilihan. Aku sudah ditakdirkan hidup
bersamanya. Kumohon jangan paksa aku. Kau tahu sendiri seberapa besar cintaku
padanya…”
“Sebesar cintamu padaku, Shim Chaesa.” Donghae tersenyum puas.
“Hae!”
Wajahnya berubah serius. “Chaesa kumohon!”
“Dia yang memiliki detak jantungku…”
“Karena kau yang mengizinkan dia untuk memilikinya. Jika aku yang
memintamu, apa kau akan memberikannya?”
“Lee Donghae!”
“Chaesa, aku tak peduli betapa rendahnya aku sebagai seorang
pria memohon mengemis pada seorang wanita bersuami sepertimu. Kau tetap
memiliki pilihan. Akulah pilihan utamamu. Datanglah padaku jika kau sudah
menentukan pilihan. Aku akan membawamu pergi ke tempat di mana dia tak dapat
kau pandang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar