^^Super Junior
FanFiction: “Am I Marrying The Right Man?”^^
[Part VI]
Kyomin Books, Gwangjin. Mei 2010 – 11:54AM.
“Hey, Noona!” panggil seseorang membuatku celingukan. “Noona,
ini aku.”
“Mana bisa aku mengenali wajahmu jika ditutup seperti itu!”
Kuperhatikan dia yang hanya beberapa meter dariku. Wajahnya
ditutup masker, dia juga memakai topi dan mantel hitam yang tebal. Mirip
teroris! Dia sepertinya sedang menimbang-nimbang ingin membuka penyamarannya
demi kukenali namun diberondong fans, atau tetap aku cuekkan. Sepertinya perang
batinnya sudah selesai, karena dia memutuskan untuk melepas maskernya.
“Hentikan, jangan dilepas! Mana mungkin aku tak mengenali
suaramu, Kyuhyunnie!”
“Ah, noona. Aku semakin menyukaimu,” ujarnya riang sambil
memasangkan kembali maskernya. “Kau sendirian?”
Aku mengangguk, “Jiwon sedang kencan dengan Eunhyuk, sedangkan
Siwon sedang latihan di SM. Oh ya, kau tak latihan memangnya?”
“Latihan?” tanyanya heran. “Setahuku hari ini jadwal latihan Super Junior kosong. Memang sih tadi pagi aku sempat melihat Siwon-hyung di kantor sedang mengobrol dengan Heebon-noona. Tapi memang tak ada latihan, atau aku yang salah jadwal, ya?” Kyuhyun mengeluarkan hpnya.
“Latihan?” tanyanya heran. “Setahuku hari ini jadwal latihan Super Junior kosong. Memang sih tadi pagi aku sempat melihat Siwon-hyung di kantor sedang mengobrol dengan Heebon-noona. Tapi memang tak ada latihan, atau aku yang salah jadwal, ya?” Kyuhyun mengeluarkan hpnya.
“Bagaimana?”
“Sama sekali tak ada latihan untuk hari ini. Semua member lagi
liburan di dorm. Mereka bermalas-malasan. Aku malas di dorm, makanya kemari
untuk beli buku.”
“Aku tak tanya kamu, Kyunnie!” Aku kembali teringat pada
kata-katanya tadi, “Kau bilang Siwon sedang mengobrol dengan Heebon?”
Dia mengangguk, “Mereka tak berhenti cekikikkan. Akrab sekali!”
Kutarik tangan Kyuhyun dan kuseret dia keluar dari toko buku.
Tak kudengarkan erangannya yang kesakitan karena tangannya kucengkeram erat.
Kuhentikan langkahku di depan kedai makanan.
“Noona apa-apaan, sih? Sakit tahu! Lagian mau apa kita berhenti
di sini?”
“Aku lapar!” Tanpa basa-basi kusambar dua tusuk sosis dan
kumakan dengan lahap.
Sebenarnya aku tidak lapar. Aku hanya kesal mengetahui kalau
Siwon telah membohongiku dengan bilang kalau dia ada latihan hanya untuk
menemui Heebon. Kuambil sosis kelima dan kumakan seperti orang kesurupan.
Inilah satu-satunya hal yang bisa melampiaskan kekesalanku saat ini.
“Noona, sudah jangan makan lagi! Kau sudah makan tujuh tusuk.
Lihat perutmu sudah membengkak!”
“Aku ini sedang hamil, Kyu. Masak kau tak tahu. Keterlaluan!”
“Noona hamil? Benarkah? Hahaha. Siwon-hyung memang hebat.
Keponakanku bertambah jadi tiga kalau begitu. Chansoo, Jae Hee, dan… Noona,
akan kau beri nama apa bayinya?”
“Mana kutahu! Gendernya saja belum terlihat!” Kurogoh tas mencari
dompet. Setelah ketemu, kuambil beberapa lembar uang dan membayarnya. Aku
berjalan terhuyung. Kyuhyun menuntun membantuku. “Aku tak bisa berjalan lagi.
Aku kekenyangan!”
“Mwo?
Sudah kubilang jangan makan terlalu banyak!” Kyuhyun merogoh saku celananya
untuk mengambil hp. Dia menelepon Siwon memintanya untuk menjemputku. “Dia
bilang ada urusan penting. Jadi tidak bisa menjemputmu, Noona.”
“Kenapa tidak kau saja yang mengantarku pulang? Ayo, mobilmu
diparkir di mana?”
“Aku nggak bawa mobil. Aku kan nggak bisa nyetir. Lagian aku
kemari kan untuk membeli buku. Noona, kau merepotkan sekali! Aku minta
Donghae-hyung yang jemput saja, ya?”
Di mobil Donghae…
“Kenapa makan sebanyak itu?” tanya Donghae.
“Lapar…”
Kualihkan pandanganku ke samping kiri dan kulihat Siwon tengah
berdiri di depan sebuah toko es krim. Sumpah aku melihatnya… Tak lama kemudian
muncul seorang wanita membawakan dua buah es krim. Mereka berjalan sambil
mengobrol.
“Hey,” panggil Donghae, “Kau lihat apa?”
“Siwon dan Heebon di ujung jalan sana,” tunjukku.
“Masak sih? Mungkin kau salah lihat. Kedua orang itu sama-sama
menggunakan masker dan topi. Bisa saja orang lain.”
“Aku yakin sekali kalau itu Siwon. Pakaiannya sama seperti yang
tadi pagi dia pakai.” Aku tertegun sebentar, “Jadi bertemu dengan Heebon adalah
urusan yang penting? Sehingga menjemput istri saja tak bisa?” gumamku lirih.
Donghae mengesampingkan mobilnya dan berhenti. “Chaesa-ah,
kenapa menangis?”
“Jawablah dengan jujur, Donghae-ah. Apakah Siwon dan Heebon
menjalin hubungan? Atau sebelumnya pernah menjalin hubungan?”
Sejenak dia ragu namun akhirnya menjawab, “Yang kutahu, dari
dulu Siwon mengagumi Heebon. Tapi tidak tahu kalau sekarang.”
Kata-kata itu menusuk sekali di hatiku. Aku benar-benar tidak
suka mendengarnya. Aku semakin membenci Heebon. Kenapa dia tega melakukan ini
padaku?
“Uljima!”
Tiba-tiba Donghae memelukku.
DOK DOK DOK!
Seseorang menggedor kaca mobil dengan keras. Aku melepaskan diri
dari pelukan Donghae dan melihat siapa pelakunya.
“SIWON?!” pekikku. Kubuka kaca mobil.
“Untuk apa kalian berpelukan? Kalian pikir aku tak tahu? Chaesa,
jadi ini yang kau lakukan selama aku tak ada?”
“Aniyo.
Siwon, kau salah paham!”
Siwon menendang ban mobil lalu pergi meninggalkan kami yang disusul
oleh Heebon. Aku tak mau kalah dari wanita itu, kubuka pintu mobil dan bergegas
menyusulnya. Donghae berteriak memanggilku, namun tak kuhiraukan.
“Siwon-sshi, dengarkan aku dulu! Kau salah paham. Biar
kujelaskan,” teriakku.
Siwon berjalan semakin cepat. Dia sama sekali tak memberiku
kesempatan untuk berbicara.
“Siwon-sshi…Siwon-sshi…” Aku berhasil mencengkeram lengan
kanannya. Dia tak berhenti berjalan, membuatku setengah terseret untuk
mengejarnya. Kueratkan cengkeramanku sehingga kuku-ku menancap dilengannya,
namun dia menepisnya dengan kuat. Membuatku terjungkal dan jatuh ke belakang.
Aku jatuh ke jalan dengan keras. Beruntung Donghae melindungi kepalaku sehingga
bebas dari benturan. Tetapi kurasakan ada sesuatu yang mengalir di sela-sela
pahaku. Perutku sakit sekali.
Kudengar Siwon berlari menghampiriku dan berteriak. Salah
seorang dari mereka ada yang menyentuh pahaku dan menjerit. Setelah itu,
semuanya gelap.
YYY
Gangnam Hospital. Mei 2010 – 07:20AM.
Samar-samar aku mendengar suara isakan. Mataku rapat, sulit
sekali kubuka. Lengan kananku basah, aku merasa ada tetesan air yang jatuh
membasahinya. Oksigen menyembul masuk ke dalam hidungku. Kugerakkan wajah dan
barulah sadar ada selang menempel di sekitar hidungku. Ah, aku kenapa?
“Yeobo, ottokhae?”
Eomonim? Itu suara eomonim, kan? Ah, aku benar-benar harus
membuka mataku. Aku ingin tahu mengapa ia menangis dan ingin memeluknya agar ia
tak menangis lagi. Sulit sekali membuat mataku benar-benar terbuka. Maka dari
itu aku tambahkan dengan gumam-an agar mereka tahu aku sudah sadar.
“Aigoo… Chaesa-ah, kau sudah siuman? Yeobo, cepat kemari!”
Walaupun masih samar, tapi aku bisa melihat ekspresi sedih yang
sangat mendalam pada wajahnya. “Eomonim…,” panggilku lemah.
“Ah, syukurlah kau bangun juga. Jangan bicara dulu! Kau
istirahat saja.”
“Siwon…”
“Dia…dia sedang ada urusan. Sebentar lagi pasti datang.”
Dia tak di sini menemaniku? Apa dia masih marah?
Pintu terbuka, kulihat Siwon dan Donghae masuk. Siwon masih
mengenakan baju yang sama. Banyak bekas darah. Dan kulihat tangannya ia
sembunyikan di balik baju. Kusentuh kepalaku, tak ada perban sama sekali.
Kulihat tanganku, kuraba tubuhku, benar-benar tak ada perban. Darah itu dari
mana? Apa Siwon juga terluka?
“Chaesa-ah…,” panggil Siwon berjalan menghampiriku, lalu
menangis seraya menggenggam tanganku. “Mianhae,
cheongmal mianhae.”
Aku bingung. Bukankah aku yang seharusnya meminta maaf? Donghae
memeluk Siwon dari belakang, berusaha menenangkannya.
“Waeyo?”
tanyaku bingung.
“Kita…kita kehilangan janinnya…”
“NE?!”
kuraba perutku seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Andwae…andwae…,” tangisku pecah. Siwon memelukku.
Tapi entah kenapa aku tak suka, kuhempaskan dia. Karena dia…ini semua karena
dia!
“Mianhae…mianhae…”
Siwon terduduk lemas di lantai dengan Donghae yang masih berusaha
menenangkannya. Eomonim ikut menangis di pelukan abeonim. Jiwon…dimana dia? Aku
membutuhkannya, ingin menangis di pelukannya.
“Siwon…keluar!” usirku. Kulihat Siwon mendongak dengan tatapan
tak percaya, “KUBILANG KELUAR!”
Aku menangis. Hatiku sakit sekali. Suamiku berselingkuh, dan
olehnya aku dituduh berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, calon bayiku pun
hilang. Apa salahku selama ini, Tuhan? Mengapa kau berikan ujian berat seperti
ini?
YYY
Beberapa minggu kemudian…
Lawyer’s Office. Juni 2010 – 11.50AM.
Kudekap erat sebuah amplop berwarna cokelat yang baru saja
kudapatkan. Lalu berjalan ke parkiran dan menaiki mobil. Hari ini aku akan
bertemu dengannya. Setelah sekian lama tak berjumpa, karena selama ini aku
meminta untuk menyendiri di rumahku yang dulu. Tak ingin melihat wajahnya.
Entah kenapa aku sebal sekali dengannya. Meskipun sebenarnya aku masih
mencintainya.
Setelah sampai, kumasuki rumahnya. Di ruang tengah kulihat
eomonim tengah menangis sambil memeluk sesuatu. “Annyeong haseyo. Eomonim?” sapaku.
Dia menoleh dan menghapus air matanya. Perawakannya mengurus,
wajahnya pucat sekali dan terlihat sangat sedih juga kasihan. “Chaesa-ah,”
panggilnya. Tangisnya mengeras.
Aku berjalan menghampirinya dan memeluk mertuaku itu. Aku sama
sekali tak menyangka wanita sekuat dia bisa ringkih seperti ini. Apa yang
terjadi dengannya? Mengapa bisa begini?
“Eomonim, gwaenchanayo?”
Dia memperlihatkan dua lembar foto padaku, “Yang satu milik
Jiwon dan yang satunya lagi milikmu. Aku tak menyangka mengapa bisa kehilangan
dua-duanya.”
Kuraih dua foto hasil USG tersebut. Tangisku pecah, hal ini
membuatku mengingat kembali pada janinku itu. Susah payah berusaha melupakannya
beberapa minggu ini, tapi sekarang malah disodorkan dengan mudahnya seperti ini.
Luka itu kembali terbuka.
“Aku merindukanmu, Chaesa-ah. Kau tak boleh lagi meninggalkan
rumah ini. Rasanya sepi sekali tanpamu. Dulu aku memang menjahatimu dengan tak
menganggapmu ada. Tapi setelah kau pergi, aku baru tahu bagaimana rasanya
kehilangan satu anggota keluarga di rumah ini. Kumohon jangan pergi lagi!”
Aku memeluknya lagi dan menyembunyikan amplop cokelat yang
sedari tadi kusimpan di belakangku. “I-iye. Aku akan tinggal lagi di sini,
Eomonim.”
“Gomawo. Siwon pasti sangat senang mendengarnya.”
YYY
Kuletakkan beberapa piring makanan yang sudah siap di meja
makan. Seseorang datang mengucapkan salam dan masuk ke dapur.
“Chaesa-onnie!” pekik Jiwon dan memelukku. Rindu sekali padanya.
Sudah lama kami tak saling cerita. Dipikir-pikir egois sekali aku hanya
mementingkan perasaan sendiri. “Kapan pulang?”
Hatiku mencelos. Dia menyebut ‘pulang’, bukan ‘datang’.
Perasaanku semakin merasa bersalah. “Tadi siang. Kau sehat? Bagaimana
hubunganmu dengan Hyukjae?”
“Sehat sekali,” sahutnya tertawa cerah, “Oh, aku dengannya
baik-baik saja. Hah, entah kapan dia akan melamarku.”
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Menggemaskan sekali!
“Cepat ganti pakaianmu! Lalu kembali ke sini. Kita makan malam.”
“Oppa pulang jam berapa?”
Lagi-lagi hatiku mencelos, “Mo-molla…”
Jiwon memandangku penuh selidik. Kutengokkan wajahku ke arah lain, sehingga ia
menyerah dan pergi ke kamarnya.
Setelah semua makan malam terhidang, masing-masing dari kami
menududuki kursi. Entah mengapa jantungku berdebar keras menunggu kepulangan
Siwon. Sampai saat ini aku tak tahu apa ia masih berhubungan dengan Heebon apa
tidak. Aku sudah tak ingin peduli. Takkan lagi memusingkan hal itu dan
membiarkan luka di hatiku terus-terusan menganga.
“Aku pulang.”
Suara sapaan itu membuat hatiku lemas. Padahal wajahnya belum
nampak, tetapi aku sudah sepayah ini. Kutundukkan wajahku, takut ketahuan kalau
aku sedang memendam ketegangan.
“Oppa, kau pulang?”
“Siwon-ah, akhirnya kau pulang,” sambut eomonim membuatku tak
mengerti mengapa ekspresi mereka berlebihan seperti ini.
“Chaesa,” panggilnya dan dia berjalan menghampiriku.
Dia merunduk dan memelukku erat. Tak kubalas pelukannya, masih
terduduk di kursi. Aku tegang, takut, kesal, dan sedikit senang. Entah harus
bagaimana kuekspresikan, maka dari itu aku lebih memilih diam.
“Kau tak ingin memeluk suamimu?” tanyanya.
Kutepuk punggungnya sejenak, lalu berusaha melepaskan diri.
“Kalian ini kenapa? Seperti tidak pernah bertemu saja. Bukankah
selama ini tinggal bersama?” tanya Jiwon.
“Ne?” sahutku tak mengerti. Kemudian Siwon menarik tanganku,
mengajakku ke kamar. Aku menurut, toh aku juga ingin mendengarkan
penjelasannya. “Ada apa ini?” tanyaku saat kami sudah berada di kamar.
Siwon menghela napasnya berat. Ia menatapku lekat-lekat.
“Mereka tak mengetahui kejadian yang sebenarnya. Setelah kau
pergi, aku juga meninggalkan rumah dan mengatakan pada mereka bahwa kita
tinggal bersama…”
“Ne?!”
“Mereka pikir kau jatuh dan kehilangan janinnya…”
“Apa?” aku mendengus tak percaya, “Mengapa kau tak mengakuinya?
Apa kau takut? Pria macam apa kau?”
“Ya. Aku takut, sangat takut. Kesehatan eomma mulai terganggu
sejak kami kehilangan Changmin juga janin yang dikandung Jiwon. Aku juga tak
ingin ia mengalami hal yang sama, walaupun memang sulit karena eomma selalu
saja menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Jadi, kumohon bantu aku untuk
menyembunyikannya!”
Tanpa terasa air mataku mengalir. Sungguh menyakitkan memiliki
suami seperti dia. Kini apa yang harus kulakukan? Mempertahankan hubungan ini
meskipun realitanya ia tak mencintaiku? Ini terlalu menyakitkan. Aku juga ingin
sesekali menuntut hakku. Dan kini aku tahu apa kekurangan Siwon. Ia seorang
lelaki pengecut!
“Setelah mendengar kabar bahwa kau pulang, aku langsung kemari.
Kumohon demi kesehatan eomma, simpan rahasia ini ba…”
“Kau telah membunuh anakmu sendiri,” pekikku tak tahan seraya
memukul-mukulkan bogemku ke dadanya, “Selama ini aku sangat menantikan
kehadirannya. Mengapa malah kau yang melepasnya pergi?”
“Chaesa,” panggilnya lemah.
“Kau tak berperasaan! Kau menuduhku berselingkuh padahal kau
sendiri yang selingkuh. Dan kau juga membunuh janinnya. Sebenarnya apa yang kau
inginkan dariku? Jika kau membenciku, aku akan pergi selamanya dari
kehidupanmu.”
“Chaesa…”
“Aku rela menyerahkanmu pada Cho Heebon. Jika itu maumu, aku
bersiap cerai darimu…”
GREP! Siwon memelukku erat. Sangat erat.
“Jika kita berpisah, apa yang akan terjadi pada eomma?”
gumamnya.
Tubuhku lemas mendengarnya. Jadi hanya itu yang ia pikirkan?
Bagaimana dengan perasaanku? Apa ia sama sekali tak peduli dengan apa yang kurasakan?
“Lepaskan!”
“Tak mau.”
“Kubilang lepaskan!” aku mendorongnya menjauh dariku. “Kau…tidur
di kasur saja. Biar aku di sofa…”
“Mana mungkin aku…”
“TIDUR SAJA DI KASUR!” teriakku lepas kendali. Tak peduli kini
ia menilaiku bagaimana. Aku sudah sangat menderita disakiti olehnya selama ini.
Jadi, boleh kan sekali-kali aku membuatnya nelangsa juga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar