KONA
BEANS (bagian 1)
Type
: Oneshot
Author
: Istrinya Kyuhyun
Main
Cast : Cho Kyuhyun, Kim Jira, Lee Donghae
Rating
: All Ages
Theme
: Romance
Jira’s pov
Aku kembali berdiri di depan café
ini. Deretan huruf besar terpampang di atas cafe itu merangkai kata Kona Beans.
Di luar ada beberapa kursi dan meja yang sudah terisi oleh beberapa pasangan.
Café itu dikelilingi dinding kaca, sehingga aku bisa melihat dengan jelas
keadaan di dalam sana. Beberapa orang pelayan dengan seragam putih tampak sibuk
mengantarkan pesanan. Dibelakang kasir tampak seorang namja sedang tersenyum
ramah kepada pelanggannya yang hendak membayar.
Tiba-tiba jantungku kembali berdetak
kencang, sangat kencang kalau bisa aku bilang. Sejak satu bulan yang lalu
jantungku selalu berdetak kencang setiap melewati tempat ini. Kakiku pun
seperti memiliki rem otomatis yang membuatku selalu berhenti lalu memandangi
café ini dengan bingung. Perasaanku seperti familiar dengan tempat ini, padahal
aku yakin aku belum pernah masuk ke tempat ini sebelumnya.
Aku terus memandangi namja yang
sedang sibuk mengoprasikan mesin hitung kasir itu. Lalu aku rasakan air mataku
jatuh menetes. Ini benar-benar aneh, aku tidak merasa sedih, tidak juga ada
angin yang bisa menerbangkan debu ke mataku, namun air mataku menetes, aku
menangis saat menatap namja itu. Ada apa dengan tubuhku? Kenapa semuanya terasa
seperti diluar kendali, aku menangis untuknya yang bahkan tidak aku kenal.
Sesaat kulihat namja itu tampak
sedang menatapku. Mungkin dia mengira aku ini pengemis atau orang gila yang
sedang memandangi cafenya. Cepat-cepat aku melangkah pergi menuju halte bus
yang berada tidak jauh dari sana.
Seperti itulah yang aku lakukan
sejak sebulan yang lalu, sejak aku melewati tempat ini untuk pertama kalinya.
Mendatangi Kona Beans, memandanginya dari luar, menangis saat menatap namja itu
lalu cepat-cepat pergi saat salah seorang pelayan disana menatapku, tanpa
sekalipun aku pernah masuk ke dalamnya. Entah magnet apa yang ada didalam café
itu sehingga mampu membuatku kehilangan kendali seperti ini.
***
Author’s
pov
Flashback
2 bulan yang lalu.
Beberapa
dokter yang menggunakan seragam operasi hijau, tampak sedang melakukan tindakan
operasi pada seorang gadis. Dokter berkali-kali meminta berbagai peralatan
kepada perawat yang mendampinginya.
Ada dua
meja operasi di depan para dokter itu. Meja itu masing-masing berisi seorang
gadis dengan muka pucat, yang membedakan hanya seorang dari mereka sudah
tidak bernafas saat itu sedangkan seorang lagi sedang berjuang untuk tidak
bernasib sama.
Beberapa kali
keadaan gadis itu menurun, membuat para dokter dan perawat semakin tegang.
Mereka bertarung dengan waktu, mereka harus menyelesaikan operasi tersebut
sesegera mungkin sebelum kekuatan gadis itu hilang dan membuat dia tidak
bernafas lagi untuk selamanya.
***
Salah
seorang dokter keluar dari ruang operasi menghampiri dua pria yang sedang duduk
diruang tunggu dengan wajah tegang.
“Selamat
Tuan Kim dan Tuan Lee operasinya berjalan lancar, sekarang kita menunggu apakah
terjadi penolakan dari tubuh Jira atau tidak.”
“Gamsahamnida,
dokter sudah menyelamatkan tunangan saya.” Ucap Lee Donghae.
“Ne, saya
permisi dahulu.” Kata dokter itu lalu kembali masuk kedalam ruang operasi.
“Jira
selamat Donghae, syukurlah.” Kata Tuan Kim sambil memeluk Donghae calon
menantunya.
“Ne, saya
sudah tidak sabar melihatnya kembali tersenyum.”
Tak lama
kemudian beberapa perawat laki-laki keluar sambil mendorong ranjang tempat Jira
berbaring. Dia akan dipindahkan ke ruang rawat karena keadaannya sudah stabil.
Donghae dan Tuan Kim ayah Jira mengikuti disampingnya. Di belakang mereka
sebuah ranjang kembali didorong keluar dari ruang operasi. Namun tubuh yang
terbaring di atas ranjang itu tidak terlihat karena ditutupi oleh selimut
putih. Tuan Kim dan Donghae sama sekali tidak menyadari hal itu.
***
“Aku
senang akhirnya kau diijinkan pulang hari ini setelah satu bulan dirawat.” Ucap
Donghae sambil memeluk Jira yang berdiri dihadapannya.
“Appa akan
menjemputku?”
“Ani, kau
akan pulang bersamaku, Appamu sedang menyiapkan pesta penyambutanmu di rumah.”
Donghae mengecup sekilas bibir gadis pujaan hatinya itu. Jira hanya tersenyum
dengan wajah yang sedikit memerah.
“Kau ini,
bagaimana kalau tiba-tiba ada dokter tau perawat yang masuk dan melihatnya?”
“Memangnya
kenapa? Toh sebentar lagi kau akan menjadi nyonya Lee, istri dari Lee Donghae
pria paling tampan di Korea Selatan.”
“Ish! Kau
ini tidak berubah.” Jira memukul pelan dada tunangannya itu.
“Ayo kita
pulang.” Ucap Donghae. Lalu dia mengangkat tubuh Jira dan berjalan di
menuju gerbang rumah sakit. Banyak perawat, dokter bahkan pengunjung rumah
sakit itu yang terpana melihat mereka, namun sedetik kemudian mereka tersenyum
geli.
“Kau
membuatku malu Oppa.”
“Hahahah.
Biarkan saja.”
***
“Sudah
lebih dari sebulan aku tidak merasakan segarnya angin.” Jira berkata sambil
menghadapkan wajahnya ke arah jendela mobil yang terbuka lebar.
“Tutup
jendelanya Jira, kau bisa sakit kalau terkena angin seperti itu.” Donghae
menarik tubuh Jira agar tidak menghadap jendela kembali.
“Aku
baik-baik saja Oppa, kau tidak usah khawatir.”
“Kau
seperti anak kecil saja.”
Jira
memandang deretan toko dan gedung yang bergerak di sampingnya. Wajahnya
terlihat sangat bahagia.
“Aigo!
Kenapa harus macet disaat seperti ini.” Ucap Donghae sambil membunyikan klakson
berkali-kali.
“Ada apa
Oppa?”
“Macet.
Sebentar aku turun dulu dan mencari tahu apa yang terjadi.” Donghae membuka
sabuk pengamannya dan turun dari mobil. Sebelum menutup pintu dia kembali
menengok Jira yang berada di dalam. “Tunggu aku disini dan jangan
kemana-kemana.”
“Ne Tuan
Lee yang tampan.” Ucap Jira.
Jira
memandangi Donghae yang tampak sibuk bertanya pada penumpang mobil di depannya,
tapi sepertinya mereka tidak tahu.
Jira
menoleh dan memandang sebuah café tepat disampingnya. Café itu tampak sepi,
tulisan Closed tertempel dipintu kacanya.
Jira turun
dari mobil lalu berdiri didepan café itu. Kursi yang berada di depan café
tampak ditumpuk ke atas meja. Dia merasa familiar dengan tempat ini. Deretan
huruf terpampang diatas café itu membentuk kata Kona Beans. Jadi nama café ini
Kona Beans, batinnya.
Sementara
Jira masih berdiri sambil memandangi café itu, Donghae kemballi ke dalam mobil.
Dia menyadari Jira menghilang.
“Jira-ya,
kamu dimana?” teriaknya.
Donghae
mengedarkan pandangannya kesepanjang tepi jalan itu. Dia melihat sosok Jira
sedang berdiri didepan sebuah café.
“Jira-ya
gwenchanayo?” Tanya Donghae.
Jira
tampak terlonjak kaget Donghae sudah berdiri disebelahnya.
“Ne,
Gwenchana.”
“Kona Beans?
Kau ingin masuk ke dalam café ini?”
“Aniyo,
hanya aku merasa familiar dengan café ini.”
“Kamu
sudah pernah masuk kedalam?”
Jira
menggeleng. Lalu dia merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia memegang
dadanya dengan sedikit tertunduk.
“Jira, gwenchana?”
Donghae memegang kedua bahu Jira. “Dadamu sakit lagi?”
“Ani,
hanya aku merasa kalau jantungku berdetak lebih kencang.”
“Ayo kita
pulang, kau belum sembuh benar, masih butuh banyak istirahat.”
“Ne.”
Mereka
berdua kembali masuk ke dalam mobil. Mobil-mobil didepan mereka tampak mulai
berjalan perlahan.
“Kenapa
bisa macet Oppa?”
“Ada orang
yang mencoba bunuh diri didekat jembatan, untungya truk yang hendak menabraknya
bisa menghindari.”
“Jadi dia
selamat?”
“Ne. Itu
orangnya.” Donghae menunjuk kerumunan orang dipinggir jalan. Mereka tampaknya
sedang mengelilingi seseorang. Jira tidak bisa melihat dengan jelas orang yang
dikerumuni itu, hanya rambutnya yang berwarna coklat yang tampak sedikit
terlihat diantara tubuh orang-orang disekelilingnya.
“Seorang
namja?”
“Ne,
katanya kekasihnya meninggal sebulan yang lalu, dia depresi dan mencoba bunuh
diri.”
“Astaga,
kasian sekali.”
“Aku juga
pasti akan seperti itu jika aku sampai kehilanganmu.” Ucap donghae sambil
menggenggam tangan Jira. Jira hanya tersenyum, sambil terus memegang dadanya.
Tidak ada rasa sakit dan nyeri seperti dulu, hanya debaran aneh yang dia
rasakan.
***
Jira’s pov
“Yeobose Oppa?” Kataku pada Donghae
ditelepon.
“Ne jagiya”
“Oppa ada dimana, bisa tidak menemaniku
sebentar?”
“Ah, mianhae Jira-ya, aku sedang ada
rapat direksi. Kau mau minta ditemani kemana? Bisakah kau pergi dengan Hyena?”
“Oh, Hyena sedang ada di pulau jeju
bersama Yesung. Kalau begitu Oppa teruskan saja rapatnya, besok saja aku minta
ditemani.”
“Baiklah kalau begitu, jaga dirimu,
saranghae.”
“Ne.”
Dia selalu saja seperti ini, sibuk
dengan pekerjaannya. Dia memang tipe seorang pekerja keras. Tapi terkadang itu
membuatku sebal, terutama saat aku membutuhkannya dan dia lebih memilih menyelesaikan
pekerjaannya.
Sebenarnya hari ini aku ingin
memintanya menemaniku ke Kona Beans. Aku benar-benar penasaran dengan café itu
yang selalu bisa membuatku berhenti didepannya dan memandanginya sebulan ini.
***
Aku berdiri didepan Kona Beans, namun
kali ini aku bertekad untuk masuk ke dalam. Aku eratkan lagi jaket dan syalku,
hari ini cuaca buruk sekali, mungkin salju akan turun malam ini.
Aku melangkah masuk, seorang pegawai
menyambutku dan menunjukan sebuah meja dan kursi kosong didekat tembok kaca
sehingga aku bisa melihat pemandangan diluar. Sebelum aku duduk aku sempat
melirik ke arah kasir, namun ternyata yang berdiri disana bukan namja yang
biasa aku lihat, tetapi orang lain, seorang yeoja.
“Anda mau pesan apa?” kata pelayan
itu padaku.
“Ani, nanti saja.”
“Ne, baiklah, kalau anda membutuhkan
sesuatu bisa memanggil salah satu dari kami.”
“Ne, gamsahamnida.”
Entah kenapa aku merasa kecewa
mengetahui namja itu tidak ada. Untuk mengobati kekecewaanku aku memandang
ruangan di café itu. Dekorasinya sangat cantik. Café itu bernuansa coklat kayu,
yang membuatku merasa hangat. Dinding dibelakang kasir dibuat seperti kayu yang
bertumpuk sehingga membentuk dinding. Dibeberapa sudut juga diletakan bunga
segar yang menambah keindahan dekorasi café itu.
“Mianhae aku terlambat.” Kudengar
sebuah suara bersemangat dari arah pintu masuk.
Aku menoleh memandang bagian kasir.
Namja itu datang. Dia tampak tersenyum kepada yeoja yang menggantikannya
menjadi kasir.
“Aku ganti baju dulu, kau saja yang
menjadi kasir, aku ingin merasakan melayani pelanggan.” Kata Namja itu.
Dia berumur sekitar 24 tahun,
berarti lebih muda 2 tahun dari Oppa Donghae, dan lebih tua 2 tahun dariku.
Tinggi hampir 180cm, sangat tinggi, tinggiku saja cuma 165 cm. rambutnya pendek
berwarna kecoklatan. Aku terus memandanginya sampai dia menghilang dibalik
pintu ruang khusus karyawan. Kurasakan jantungku kembali berdesir. Siapa dia
sebenarnya?
5 menit kemudian dia keluar dari
ruangan itu sudah dengan seragam café itu. Dia kelihatan tampan sekali memakai
seragam seperti itu. Aku mengangkat tanganku sebagai tanda memanggil pelayan.
Dia melihatnya dan langsung menghampiriku.
“Ada yang bisa saya bantu Agashi?”
tanyanya sambil tersenyum manis sekali.
“Saya mau pesan makanan.”
“Silahkan memilih menu kami.” Dia
menyerahkan buku menu padaku.
Aku telusuri semua menu yang
tertulis disitu. Sebenarnya aku tidak terlalu memeperhatikannya, karena yang
sekarang ada dipikiranku adalah namja ini. Jantungku berdegup dengan sangat
kencang, bahkan membuat nafasku sedikit sesak.
“Saya pesan bulgogi, cheese cake,
dan espresso hangat.” Kataku sambil memandangnya. Kulihat dia tidak menulis
pesananku, tetapi memandangiku dengan pandangan terkejut.
“Wae? Ada yang salah dengan pesanan
saya?” tanyaku dengan heran.
“Ah, aniyo. Tunggu sebentar agasi.”
Katanya. Dia melangkah menjauhiku menuju meja kasir. Kulihat dia menengok ke
arahku sebentar sebelum meletakan kertas pesananku di meja.
Ada apa dengan dia? Kenapa terkejut
sekali mendengar aku memesan bulgogi, cheese cake dan espresso? Dia terus
memandangiku setiap kali menghampiri pelanggan dan melewati tempatku duduk. 15
menit kemudian dia datang membawa pesananku.
Dia memandangku tajam saat
meletakan makananku ke atas meja, namun anehnya aku tidak tersinggung dipandang
seperti itu, tetapi aku merasa damai, aku bahkan merasa rindu dengan
pandangannya itu. Ya tuhan sebenarnya perasaan apa yang aku rasakan ini? aku
sama sekali tidak mengenalnya tetapi aku merasa dekat dengannya. Aku kembali
memegang dadaku merasakan degup jantungku yang mengencang. Aku memakan
makananku diiringi tatapan tajamnya dari arah kasir. Dia berdiri bersama
teman-temannya menunggu ada pelanggan yang meminta bantuan. Bahkan sampai aku
membayar di kasir dia masih terus menatapku. Aku tahu ada yang salah dengan
pesanan makananku tadi, tapi aku tidak tahu apa itu.
***
“Kau kemarin ingin aku temani
kemana?” Tanya Donghae. Kami sedang duduk di sofa di beranda rumahku menikmati
semilir angin di sore hari. Aku duduk disebelahnya dan menyandarkan kepalaku di
dadanya. Tangan donghae melingkar di pinggangku.
“Hanya jalan-jalan saja. Aku bosan
dirumah terus.”
“Mianhae aku terlalu sibuk
akhir-akhir ini.”
Aku hanya diam. Aku sedang menikmati
detak jantung Donghae yang tepat berada ditelingaku.
“Aku mempunyai sebuah berita yang
tidak menyenangkan.” Ucap Donghae.
Aku mendongak menatap wajahnya
dengan wajah bingung. Donghae mendekatkan wajahnya lalu mencium bibirku dengan
lembut. Aku mendorong tubuhnya menjadi sedikit menjauh.
“Berita apa?” tanyaku.
“Aku harus pergi ke New York.”
Ucapnya dengan muka sedih.
“Kau sudah biasa kan meninggalkanku
ke luar negeri, kenapa harus bersedih?”
“Aku tidak akan kembali sampai satu
tahun.”
“Mwo? Wae? Memangnya kau ada urusan
apa disana?” kataku sambil menatap wajahnya lekat.
“Ada proyek yang harus aku kerjakan
disana, dan itu membutuhkan waktu satu tahun. Akan aku usahakan aku bisa pulang
mengunjungimu satu bulan sekali.”
Aku menunduk sambil meneteskan air
mataku. Aku memang sudah terbiasa dia tinggal keberbagai negara untuk
menyelesaikannya tapi itupun satu minggu paling lama. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana rasanya satu tahun tidak melihatnya, dan tidak mendekap
tubuhnya.
“Jira-ya uljima, aku mohon.” Ucapnya
sambil menghapus air mata yang jatuh dippipiku. “Aku berjanji akan sering
menghubungimu, kita bisa memakai video call.”
“Aku pasti akan merindukanmu.”
Kataku terbata.
“Aku akan lebih merindukanmu.” Dia
menarikku kepelukannya dan memelukku dengan erat.
“Kapan kau berangkat?”
“Lusa.”
“Kenapa begitu cepat?”
“Semuanya serba mendadak jagiya, aku
pun kaget dengan keputusan Appa yang menyuruhku kesana. Sebenarnya aku sudah
memberitahu ayahmu dan meminta pernikahan kita dipercepat sebelum aku berangkat
ke New York sehingga aku bisa membawamu kesana. Tapi ayahmu tidak
mengijinkannya, dia berkata tubuhmu masih lemah. Dan aku sependapat dengan
beliau.”
“Aku tidak ingin berpisah denganmu.”
“Aku akan sering pulang, atau kalau
tidak kau bisa ke New York sehingga kita bisa berlibur bersama.”
“Hmm.”
“Uljima jagiya.” Ucap Donghae sambil
kembali mendekatkan wajahnya pada wajahku lalu mencium bibirku dengan penuh
hasrat. Aku peluk lehernya erat menikmati setiap ciuman lembutnya pada bibirku.
Donghae melepaskan ciumannya, membelai
pipiku dan kembali memeluk tubuhku.
“Saranghae Kim Jira.” Ucapnya. Dia
lalu mencium puncak kepalaku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Aku pasti akan sangat kesepian. Entah kenapa aku kembali teringat pada namja di
kona beans. Mengingat pandangan tajamnya padaku.
***
Aku dan Donghae sedang dalam
perjalanan menuju bandara. Didalam mobil aku selalu menyandarkan kepalaku
didadanya dan dia memelukku. Semakin dekat jarak ke bandara semakin tidak rela
aku melepaskannya pergi.
“Kita sudah sampai tuan.” Ucap supir
Donghae.
Kudengar Donghae menghela nafas
dalam-dalam, aku tahu dia juga tidak ingin berpisah denganku. Dia turun dari
mobil dan membuka bagasi mengambil semua kopernya dibantu supirnya. Sedangkan
aku masih duduk diam didalam mobil. Aku enggan turun dan melihatnya pergi
meninggalkanku, aku tidak ingin berpisah dengannya.
“Tolong kau bawa koperku dulu ke
depan pintu masuk dan tunggu disana, aku ingin berbicara sebentar dengan Jira.”
Kudengar Donghae berkata kepada supirnya.
“Ne tuan Lee.” Jawab sang supir.
Donghae kambali masuk ke dalam mobil
dan memandangku dengan sedih. Tiba-tiba dia menciumku dan membuatku kaget. Dia
menciumiku seolah dia tidak akan pernah lagi bisa menciumku. Dia mendorongku
sampai aku bersandar pada pintu. Aku hanya bisa mendekapnya erat. Aku tidak
ingin dia berhenti menciumku.
“Aku harus pergi sekarang.” Ucapnya
setelah dia melepaskan ciumannya padaku. Mendengarnya berkata seperti itu, aku
malah mempererat pelukanku padanya.
“Jangan pergi.”
“Aku akan cepat kembali.”
Dia membuka pintu mobil dan
menggandengku turun dari mobil. Dia tidak melepaskan tangannya dari tanganku
selama kita berjalan dari tempat parkir sampai didalam bandara.
“Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa
minum obat. Jangan lupa juga check up ke dokter. Jangan pergi dimalam hari.
Hentikan kesukaanmu naik bus, lebih baik kau diantar supir. Kau mengerti Kim
Jira? Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu
padamu.” Nasehatnya padaku.
“Ne. Kau juga jaga kesehatanmu
disana. Jangan lupa makan, dan jangan lupa menghubungiku.”
“Ne. saranghae.” Dia memelukku
sebentar lalu melangkah masuk ke dalam ruang boarding sambil mendorong troli
yang penuh dengan kopernya.
Aku melihat punggung Donghae yang
menjauh dengan perasaan sedih. Dia sempat beberapa kali membalikan badan dan
melambaikan tangannya padaku. Sekarang aku sendirian disini. Tidak ada lagi
yang bisa menemaniku saat aku sedih.
***
Malam ini aku sudah kembali berdiri
didepan Kona Beans. Baru beberapa jam yang lalu Donghae terbang ke New York.
Saat sedih seperti ini entah kenapa yang ada dipikiranku hanya Kona Beans. Hati
kecilku berkata ditempat ini aku akan menemukan sebuah hiburan.
Aku masuk dan duduk kembali ditempat
yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Malam ini café ini tampak sepi.
Namja itu ternyata sudah kembali ke posisinya yang biasa sebagai kasir. Saat
aku masuk tadi aku lihat melalui ekor mataku kalau dia kembali menatapku dengan
tajam.
Aku lambaikan tanganku memanggil
pelayan. Dan anehnya namja itu yang mendekatiku. Dia menyerahkan pekerjaan
kasirnya pada orang lain. Kenapa dia harus meminta temannya menggantikannya
demi mendekatiku?
“Mau pesan apa agashi.” Ucapnya
sambil menyodorkan buku menu padaku.
“Bulgogi, cheese cake dan espresso
hangat.” Ucapku sambil kembali menatapnya. Dan sama seperti beberapa hari yang
lalu dia memasang wajah terkejut dulu sebelum menulis pesananku.
15 menit kemudian dia kembali sambil
mengantarkan pesananku. Anehnya setelah dia melayaniku dia tidak menghampiri
pelanggan lain, tetapi kembali menjadi penjaga mesin kasir. Aku benar-benar
heran dengan tingkahnya.
Café ini membuatku merasa nyaman,
aku sedikit bisa melupakan kesedihanku karena kepergian Donghae. Aku terus
memandang orang-orang yang berlalu lalang dijalan didepan café ini melalui
dinding kaca dan tidak terasa sudah 3 jam aku disana. Hingga sebuah suara
membuatku tersadar.
“Jongsohamnida agashi, café kami 5
menit lagi tutup.” Tiba-tiba namja kasir itu sudah berada di sampingku dan
membuatku sedikit terlonjak kaget.
Aku memandang ke sekelilingku. Semua
kursi tampak sudah diangkat ke atas meja, dan memang tampaknya hanya tinggal
aku pelanggan yang ada disitu.
“Ah, ne saya mengerti.” Aku beranjak
dari kursi dan membayar semuanya di kasir. Namun sebelum aku keluar dari pintu
suara namja kasir itu terdengar memanggilku.
“Tunggu sebentar agashi.”
Aku menoleh padanya dan dia
menghampiriku sambil tersenyum. Kurasakan jantungku berdebar kencang saat dia
tersenyum padaku.
“Kalau agashi masih ingin berada
disini tidak apa-apa, saya akan memperlambat menutup café ini. sepertinya
agashi sedang bersedih.”
Aku menghela nafas dalam dan kembali
duduk dikursi didekat kasir yang belum dibereskan.
“Kalian pulang saja dulu, kali ini
giliranku yang memegang kunci café.” Ucap namja itu pada 3 orang temannya yang
masih berada di café ini.
“Baiklah, kami pulang dulu. Kau
bersenang-senanglah, lupakan Haneul.” Ucap seorang temannya. Namja itu hanya
melotot sambil memukul kepala temannya. 3 namja yang meledeknya segera keluar
dari café sambil tertawa terbahak-bahak.
Namja kasir itu lalu duduk didepanku
sambil meletakan secangkir espresso didepanku.
“Bonus, dan gratis.” Katanya sambil
tersenyum.
“Gamsahamnida.” Ucapku sambil
meneguk sedikit espresso itu.
“Kyuhyun, Cho Kyuhyun imnida.”
Ucapnya sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Kim Jira imnida.” Aku menjabat
tangannya yang terasa hangat.
“Aku sering melihatmu berdiri sambil
memandangi caféku.”
‘Ne, mianhae jika sikapku
mengganggumu.”
“Cheonmaneyo, kalau boleh aku tau
kenapa kau memandangi café ini seperti itu?”
“Molasso.”
Dia tampak mengerutkan wajahnya
heran mendengar jawabanku.
“Aku benar-benar tidak tahu kenapa
aku suka memandang tempat ini. Aku hanya merasa familiar dengan tempat ini
mekipun aku belum pernah sekalipun masuk ke dalamnya.”
“Aneh” ucapnya dengan ekspresi wajah
yang membuatku ingin tertawa.
“Hahahaha. Aku juga merasakan kalau
aku ini aneh. Ngomong-ngomong ini café milikmu?”
“Ne. sebenarnya café ini milikku dan
kekasihku. Tapi kekasihku sudah meninggal 2 bulan yang lalu.”
“Eh? Wae? Dia sakit?”
“Ani, tabrak lari.” Katanya dengan
wajah sedih.
“Oh, aku turut berduka.”
“Ne, gamsahamnida. Dia adalah
jiwaku, dulu aku sempat berniat untuk bunuh diri. Tapi aku sadar kalau bunuh
diri tidak akan menyelesaikan masalahku, malah di akhirat nanti saat aku
bertemu dengannya dia pasti akan memukuliku, hahahaha. Aku jadi takut saat
membayangkan hal itu. Haneul saat marah lebih menakutkan daripada singa,
hahaha.” Katanya sambil tertawa.
“Sepertinya kau sudah bisa
melupakannya.”
“Aku tidak akan pernah bisa
melupakannya, tetapi aku hanya berusaha hidup normal seperti dulu agar Haneul
bisa tenang disana.”
Aku tersenyum mendengar kata-katanya
yang bersemangat. Tiba-tiba aku teringat kejadian saat aku baru keluar dari
rumah sakit. Mobil kami terhenti di depan café ini karena macet. Donghae
berkata bahwa ada seseorang yang mencoba bunuh diri sehingga menyebabkan
kemacetan, mungkinkah orang itu Kyuhyun? Orang yang aku lihat diantara
kerumunan waktu itu berambut kecoklatan dan pendek. Kyuhyun yang berada
didepanku juga berambut pendek dengan warna kecoklatan. Mungkin memang dia yang
mencoba bunuh diri saat itu.
“Aku rasa sekarang saatnya aku
pulang. Gamsahamnida sudah menemaniku, dan mianhae sudah menyebabkanmu pulang
terlambat.” Aku bangkit dari kursi dan membungkuk padanya.
“Kau pulang naik apa?”
“Bus. Dilanjut jalan kaki.”
“Rumahmu dimana?”
“Daechi.”
“Kalau begitu kita satu arah.
Bagaimana kalau kita pulang bersama?”
“Memang rumahmu dimana?”
“Dogok.”
“Baiklah kalau begitu.”
Aku dan Kyuhyun keluar dari café.
Kyuhyun mengunci pintu café dan kami berjalan beriringan menuju halte bus.
“Kau pasti tidak terbiasa
menggunakan bus.” Kata Kyuhyun yang berdiri disebelahku. Dia berdiri dengan
tangan dimasukan kedalam saku jaketnya, membuat dia menjadi tampak sangat
tampan.
“Ani, aku selalu menggunakan bus
kemanapun aku pergi. Aku tidak bisa menyetir, Appaku melarangku untuk menyetir
karena aku sakit-sakitan dari kecil.”
“Kau sakit apa?”
“Aku.. hmm.. aku sakit.. jan..”
belum sempat aku menyelesaikan ucapanku Kyuhyun memotong sambil menunjuk bus
yang mendekat kea rah kami.
“Itu busnya sudah datang.”
Saat bus berhenti Kyuhyun naik lebih
dulu lalu mengulurkan tangannya padaku. Aku meraih tangannya yang menarikku
naik ke atas bus. Kyu menyuruhku duduk didekat jendela dia sendiri duduk
disebelahku.
“Kau sepertinya tadi sedang
bersedih, ada masalah apa?” Tanya Kyuhyun membuka percakapan.
“Kekasihku tadi siang berangkat ke
New York, dan dia tidak akan pulang sampai satu tahun kedepan.”
“Jadi kau kesepian?”
“Ne.”
“Boleh aku bertanya satu hal lagi?”
ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya seperti angka satu. Aku mengangguk
dan sedikit menahan tawa melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu.
“Kenapa kau selalu memesan menu yang
sama saat ke caféku?”
“Mollaso.”
“Eh? Kau ini selalu menjawab mollaso
kalau aku tanya.” Kyuhyun cemberut mendengar jawabanku.
“Mollaso, aku hanya memesan makanan
yang hati kecilku katakan.”
“Kau ini benar-benar orang yang
aneh.” Kyuhyun berkata sambil menatapku dengan dahi mengernyit lucu.
“Kita sudah sampai dihalte Dogok,
kau tidak turun?” kataku saat bus berhenti di halte dogok tetapi kulihat
Kyuhyun masih tenang-tenang saja duduk disebelahku.
“Apakah sopan meninggalkan seorang
yeoja didalam bus sendirian malam-malam tanpa mengantarnya sampai kedepan
gerbang rumahnya?” Ucapnya.
“Hahaha. Kau tidak usah repot
mengantarku. Aku sudah terbiasa sendiri, lagipula 5 menit lagi sampai di halte
Daechi.”
“Ani, aku akan mengantarmu sampai
gerbang rumah.” Ucapnya sambil mulai memainkan game di ponselnya.
Aku memandang keluar jendela,
melihat deretan pohon dan gedung yang berlalu disampingku. Pikiranku ada pada
Donghae, sedang apa dia sekarang? Apakah sudah dia baik-baik saja? Sudah
sampaikah dia di New York?
“Kita sudah sampai, ayo turun.”
Ucapan Kyu membuyarkan lamunanku.
Kyuhyun menggandeng tanganku dan
membimbingku turun dari bus. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Kami baru kenal
tadi, tetapi kenapa aku merasa sudah mengenalnya lama sehingga bisa langsung
akrab seperti ini. dia juga sepertinya merasa nyaman berada disisiku.
“Rumahmu dimana?”
“Kita harus berjalan dulu masuk
kedalam perumahan itu.” Kataku sambil menunjuk sebuah jalan disebelah halte
itu.
Kami berjalan bersama digelapnya
malam, hanya sinar lampu jalan yang menerangi kami. Bahkan bulanpun tampak
bersembunyi dibalik awan.
“Cuacanya sangat buruk, anginnya
kencang sekali.” Katanya sambil mengetatkan jaketnya. “Eh kau tidak memakai
jaket? Hanya sweter tipis seperti itu mana mungkin bisa menahan dingin.”
“Aniyo, gwenchana.” Kataku.
Sebenarnya saat itu aku juga sedang berusaha menahan dingin yang menerpa
tubuhku. Tetapi aku tidak ingin Kyuhyun tahu kalau aku kedinginan.
Tiba-tiba sebuah jaket terpasang di
tubuhku. Aku menengok ke arah Kyuhyun yang tampak tersenyum padaku.
“Pakailah ini, kau pasti
kedinginan.”
“Tidak usah, aku tidak kedinginan.
Kau pakai saja.” Kataku sambil melepaskan jaket itu.
“Kau pakai saja itu jangan
membantahku, aku memakai sweter yang jauh lebih tebal darimu, aku tidak mau kau
sakit.”
“Gamsahamnida.”
5 menit kami berjalan kaki dalam
diam, dalam lamunan kami masing-masing. Aku merasakan jantungku yang kembali
berdebar kencang saat berjalan bersamanya seperti ini.
“Ini rumahku.” Kataku saat kami
sampai digerbang depan rumahku.
“Kalau begitu aku pulang sekarang.
Jaga dirimu, sampai jumpa lagi, jaljayo.”
“Gamsahamnida sudah mau mengantarku
pulang.”
Kyuhyun melambaikan tangannya padaku
dan berjalan menjauhiku. Aku melangkah kedalam rumah dengan hati gembira. Entah
kenapa aku merasa tenang saat disampingnya tadi.
Rumahku tampak sepi, sepertinya Appa
sudah tidur. Aku memang tinggal hanya dengan Appa setelah Eomma meninggal saat
aku masih berumur 5 tahun. Aku masuk kedalam kamarku dan duduk disofa . aku
melepas jaket yang aku pakai. Jaket? Astaga, aku belum mengembalikan jaket
milik Kyuhyun.
Aku segera lari menuju gerbang dan
keluar ke jalan raya. Aku menengok kekanan dan kiri tapi tidak kutemukan sosok
Kyuhyun. Cepat sekali dia menghilang. Aku kembali masuk kedalam rumah, dan
menutuskan untuk mengembalikannya besok di Kona Beans.
***
Kyuhyun’s
pov
Aku melambaikan tanganku pada Jira
yang berdiri di depan pintu. Setelah melihatnya masuk ke dalam rumah aku
melangkah dengan cepat menuju halte bus. Jira lupa mengembalikan jaketku
sehingga aku harus cepat sampai rumah sebelum aku mati kedinginan di tengah
jalan.
Kim Jira, hati kecilku berkata dia
gadis yang menarik sejak pertama aku melihatnya saat dia berdiri di depan café.
Melihatnya mengingatkanku pada Haneul. Bahkan debaran jantungku yang menjadi
kencang saat aku berdekatan dengannya pun sama seperti saat aku berdekatan
dengan Haneul.
Pesanan makanannya saat di café pun
sama dengan makanan kesukaan Haneul.Sejak Haneul meninggal, tidak pernah satu
kalipun ada orang yang memesan makanan itu, hanya Jira yang melakukannya. Aku
yakin sesuatu hal telah terjadi dan itu melibatkan mereka berdua.
***
“Annyeonghaseo.” Kudengar sebuah
suara menyapaku.
“Jira?” kataku. Jira berdiri
didepanku sambil mengacungkan sebuah bungkusan.
“Apa itu?” tanyaku dengan heran.
“Jaketmu.”
“Ah, ne, semalam kau pakai. Kau
duduk dulu saja dan pesan makanan nanti aku temani kau.” Aku menerima jaketku
dan menyimpannya ke laci dibawah kasir.
“Baiklah. Seperti biasa ya.”
“Apanya?”
“Aku pesan menu seperti biasanya.
Bukannya kau tadi menyuruhku memesan makanan.”
“Ah, ne ne, bulgogi, chese cake dan
espresso.”
“Ne, aku tunggu disudut sana.”
Ucapnya sambil menunjuk sebuah kursi kosong disudut ruangan.
Aku hanya mengacungkan ibu jariku
sambil mencatat pesanannya. Dibelakang Jira sudah terbentuk antrian pelanggan
yang ingin membayar, malam ini caféku memang sedang dalam keadaan ramai.
“Kursi no berapa Tuan?”
tanyaku pada seorang pelanggan.
“Nomor 15.”
“Semuanya 14 ribu won.”
Laki-laki itu menyerahkan uang
15ribu won. Aku memasukan uang itu ke laci mesin kasir lalu mencetak
struknya. Dia menolak saat aku menyerahkan uang kembalian, katanya itu tips
buatku. Antrian itu lumayan panjang, sampai saat makanan pesanan Jira selesai
aku tidak bisa mengantarnya.
“Bulgogi, cheese cake, Espresso,
special order.” Kata Koki caféku dengan sedikit menggodaku.
“Wookie Hyung, bisa kau antarkan itu
aku masih banyak pekerjaan,” Aku berkata pada Ryeowoo yang kebetulan baru saja
menyerahkan kertas pesanan kepada koki.
“Meja berapa?” tanya Wookie.
“Pesanan Jira.” Ucapku sambil terus
melayani pembeli, suara mesin kasir terdengar berisik karena aku berkali-kali
membuka dan menutup lacinya serta memencet keyboardnya.
“Jira?” Tanya Ryeowook heran.
“Yeoja dipojokan itu.” Ucapku sambil
menunjuk tempat Jira duduk.
“Ah, Yeoja itu, special order huh?”
ucapnya sambil sedikit menyikut lenganku lalu pergi mengantarkan pesanan Jira
sambil tertawa.
Sejak Jira datang ketempat ini semua
pegawaiku selalu menggodaku, kata mereka pandangan mataku berbeda saat
memandang Jira. Mereka seperti melihatku yang sedang memandang Haneul dulu.
Mereka merasa aku sudah bisa melupakan Haneul walaupun sebenarnya tidak, aku
masih sangat mencintai Haneul.
“Sungmin Hyung, bisa kau gantikan
aku?” kataku pada Sungmin yang tampak sedang duduk diruang pegawai, sepertinya
dia sedang beristirahat untuk minum. Kebetulan sekali antrian tadi sudah habis,
sekarang waktunya aku menemani Jira. Kenapa aku menjadi sangat bersemangat
seperti ini?
“Kenapa harus aku?” protesnya dengan
wajah cemberut.
“Dia sudah ditunggu Hyung.”
Tiba-tiba Ryeowook sudah berada disampingku sambil memeluk bahuku.
“Eh? Siapa?”
“Spesial Order.” Ryeowook berkata
sambil tersenyum-senyum padaku.
“Ah, ne, aku mengerti chukae.”
Sungmin berkata sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Kalian ini bicara apa? Jangan
bicara yang tidak-tidak. Kau juga Wookie-ya, jangan membuat gossip.” Kataku
sambil melepaskan rangkulan Ryeowook dibahuku.
“Sudah kau pergi saja sana. Kasihan
si special order sudah menunggu.” Ryewook mendorongku keluar dari ruang pegawai
lalu menutup pintunya. Mereka sengaja menutup pintu agar aku tidak sempat
memukul mereka. Kudengar tawa mereka menggema didalam.
“Mianhae lama menunggu.” Kataku pada
Jira dan duduk didepannya.
“Cheomaneyo, sepertinya tadi kau
sibuk sekali.”
“Kebetulan sedang bayak pengunjung.
Kau pasti kesepian tidak ada yang menemanimu dirumah.”
“Ne, tadi Oppa Donghae sempat
menghubungiku tetapi hanya sebentar, sepertinya dia sedang sangat sibuk.”
Ucapnya dengan wajah sedih. Entah kenapa akupun merasa sedih melihatnya seperti
itu. Ada apa denganku? Tidak mungkin aku jatuh cinta dengan orang yang baru
beberapa kali aku temui. Jira hanya mengingatkanku pada Haenul.
“Bagaimana kalau kau menghabiskan
waktu disini saja?”
“Hmm.. maksudmu?”
“Kau bisa membantuku disini,
melayani pelanggan, berinteraksi dengan orang, bisa sedikit menghiburmu,
melupakan sejenak tentang rasa kesepianmu, bagaimana?”
Dia memandangku dengan ragu. Mungkin
ideku ini gila, dia pasti tidak pernah bekerja. Daechi adalah perumahan elit
dan para penghuninya adalah orang kaya.
“Tentu aku akan menggajimu setiap
bulan.” Ucapku cepat-cepat. Aku takut dia menyangka aku akan memperkerjakannya
tanpa memberinya gaji.
“Ah, ani, aku akan bekerja disini,
tapi tidak usah kau beri upah.”
“Eh? Wae?”
“Karena aku sudah mendapatkan
upahku, yaitu tidak merasa kesepian lagi.”
“Ah, baiklah kalau begitu.”
“Aku pulang dulu Kyuhyun, sudah
terlalu malam, dan tadi pagi aku baru check up ke dokter, bisa-bisa Appa
memarahiku karena pulang terlalu malam.”
“Check up? Memang kau sakit apa?”
“Hmm.. gagal jantung. Aku baru saja
sembuh dari penyakit itu, tetapi masih harus terus check up.” Ucapnya dengan
sedikit senyum tersungging di wajahnya.
“Ah, baiklah kalau begitu. Kau mau
aku antar pulang?”
“Ani, aku datang bersama supirku.
Atau kau mau pulang bersama denganku? Nanti aku antar sampai rumahmu.”
“Ani, kau lihat sendiri masih banyak
orang disini.”
“Oh, baiklah kalau begitu aku pulang
dulu, sampai jumpa lagi, jaljayo.” Dia membungkukan badan padaku lalu berjalan
menuju pintu. Didepan kasir dia hendak membayar ke Sungmin namun aku cegah.
“Tidak usah, kali ini gratis saja.”
“Wae? Aku juga pelanggan disini.”
“Lalu aku harus bayar berapa sebagai
upah mencucikan jaketku? Kita barter saja.”
“Kau curang Cho Kyuhyun, hahahaha.
Baiklah kalau begitu, gomawo atas makanan gratisnya. Sampai jumpa, Jaljayo.”
Dia kembali membungkukan badan
padaku dan semua karyawanku yang sedang berada didekat kasir. Aku mengantarnya
sampai dia masuk ke dalam mobil. Dia lambaikan tangannya padaku sebelum
mobilnya berjalan.
“Spesial Order yang cantik.” Ryewook
mulai lagi menggodaku saat aku masuk ke dalam café.
“Jangan mulai Hyung.”
“Menurutku dia cantik, tidak kalah
dengan Haneul.” kali ini Sungmin yang menggodaku.
“Dengar ya kalian berdua aku tidak
akan pernah melupakan Haneul. jadi jangan membuat gossip yang tidak-tidak.
Sekarang kau kembali menulis pesanan Hyung, aku jadi kasir lagi.” aku mengusir
Sungmin dari posisinya sebagai kasir. Sungmin mencibir padaku, sedangkan
Ryeowook hanya tertawa terbahak-bahak.
Aku kembali teringat ucapan Jira
yang berkata bahwa dia menderita gagal jantung. Bukankah penyakit itu hanya
bisa sembuh dengan transplantasi jantung. Jangan-jangan…
“Wookie-ya, bukankah setiap
penderita gagal jantung hanya bisa sembuh dengan transplantasi jantung?”
tanyaku pada Ryeowook yang masih duduk santai didekat kasir.
“Yang pernah aku dengar sih seperti
itu. Memangnya siapa yang sakit? Special order sakit jantung?”
“Ah ani, Cuma bertanya.”
Benar ternyata dugaanku. Sekarang
aku tahu kenapa aku merasa dekat dengan Jira, padahal belum pernah bertemu
dulu. Aku harus kerumah sakit besok untuk mencari tahu kebenarannnya.
***
Jira’s pov
“Annyeonghaseo.” Aku menyapa salah
satu karyawan Kyuhyun yang berbadan kurus dan warna rambut agak kemerahan.
“Ah, annyeonghaseo. Kim Jira?
Ryeowook imnida” namja bernama Ryeowook itu mengulurkan tangannya berkenalan
denganku dan aku menyambutnya.
“Kim Jira imnida, apa Kyuhyun belum
datang, aku tidak melihatnya.”
“Ne, tadi dia menghubungiku dan
berkata akan telat masuk. Dia juga menitip pesan padaku kalau kau akan datang
untuk bekerja. Benar?”
“Ne, benar.”
“Ada apa Wookie-ya?” seorang namja
bertubuh kekar tetapi sedikit pendek menepuk bahu Ryeowook dari belakang. “Ah,
si Spesial Order.” Ucapnya lagi. Dia memanggilku special order? Apa maksudnya?
“Kim Jira Hyung.” Ryeowook tampak
menyikut temannya itu.
“Ah, mianhae, Sungmin imnida.”
Katanya sambil mengulurkan tangan padaku.
“Kim Jira imnida”
“Jira-ssi bisa ikut aku ke ruang
pegawai.” Ucapnya sambil menunjukan sebuah ruangan disebelah kasir.
“Tolong jangan panggil aku dengan
sebutan –ssi, panggil Jira saja.” Aku mengikuti Sungmin masuk ke ruangan itu.
“Baiklah Jira-ya. Ini seragammu, kau
akan bertugas menjadi kasir menggantikan Kyuhyun.” Sungmin menyerahkan sebuah
kemeja putih berlambangkan Kona Beans padaku.
“Kenapa aku harus menggantikannya?
Aku bisa menjadi pelayan.”
“Itu sudah menjadi perintah Kyuhyun,
dan kami tidak bisa membantahnya, atau kami pulang ke rumah tanpa nyawa.”
“Eh? Maksudnya?”
“Kyuhyun bisa marah pada kami, dan
kalau Kyuhyun sudah marah akan lebih menakutkan daripada malaikat pencabut
nyawa di drama 49 Days.” Sungmin berkata dengan mimik wajah sangat serius dan
membuatku tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Kau suka melihat drama di TV?”
“Kadang-kadang. Sudah kau cepat
ganti baju dan duduk sebagai kasir.” Ucap Sungmin yang langsung keluar dari
ruangan itu sambil menutup pintunya.
Aku melihat-lihat ruangan itu dengan
teliti. Ruangan yang berukuran 3x4 meter dengan loker menempel disetiap sisi
dindingnya. Disetiap loker itu tertempel nama pemiliknya. Kulihat loker
bertuliskan namaku bersebelahan dengan loker dengan nama Kyuhyun. Kunci lokerku
masih tergantung dilubangnya. Aku buka loker itu dan aku masukan tasku kedalamnya.
Aku ganti baju kaos yang aku kenakan dengan kemeja itu. Ternyata di dalam
ruangan ini juga terdapat sebuah meja kecil dan 4 buah kursi. Disebuah sudutnya
juga terpasang dispenser air minum dengan beberapa gelas disekitarnya, mungkin
ini untuk minum para karyawan disini.
Setelah memastikan penampilanku
rapi, aku keluar dari ruang karyawan dan duduk dibelakang mesin kasir. Rasanya
menyenangkan bisa berinteraksi dengan banyak orang seperti ini. tingkah lucu
Ryeowook dan Sungmin juga membuatku bisa melupakan rasa kesepianku. Sepertinya
Kyuhyun menyuruh mereka menjadi pemanduku di hari pertamaku bekerja disini.
Kyuhyun belum menampakan batang
hidungnya sampai sore. Apa dia tidak datang? Ryeowook sudah berkali-kali
menghubunginya tetapi ponselnya tidak aktif. Ada apa dengannya?
“Annyeonghaseo. Pesanan meja no 13
berapa harganya?” sebuah suara menyadarkanku dari lamunanku. Aku sedikit
terlonjak kaget dan langsung berdiri sambil memandang orang yang berada didepan
kasir.
“Kyuhyun?” ternyata Kyuhyun yang berada
didepanku dan dia tampak tertawa karena berhasil mengagetkanku. Dia masih
mengenakan jaket kulit, menggendong ransel dan membawa helm. “Kau dari mana?
naik motor?”
“Ne, aku ada sedikit urusan.
Bagaimana rasanya bekerja di café?” tanyanya. Aku melihat matanya tampak
sembab, apa dia habis menangis? Mungkinkah dia mengunjungi makam kekasihnya?
“Menyenangkan.”
“Syukurlah kalau begitu, aku ganti
baju dulu.”
Hatiku merasa tenang sekarang
melihatnya sudah kembali. Hay, Kim Jira, apa yang kau pikirkan! Bagaimana bisa
kau terlalu khawatir seperti ini pada laki-laki lain? Kau sebentar lagi akan
menjadi istri Donghae, sadarlah Kim Jira. Aku menggelengkan kepalaku pelan,
mencoba mengusi pikiran khawatirku pada Kyuhyun di otakku.
***
Malam ini aku pulang bersama Kyuhyun
menaiki motornya. Baru kali ini aku menaiki motor seperti ini bersama laki –
laki lain, baru kali ini juga aku memeluk laki-laki lain selain Donghae Oppa.
Memeluk Kyuhyun rasanya lain, tidak seperti memeluk Donghae Oppa. Kyuhyun lebih
hangat, jantungku juga berdebar lebih kencang saat memeluknya dibanding saat
aku memeluk Donghae Oppa
Saat sampai digerbang rumahku, aku
merasa tidak ingin berpisah dengannya. Aku ingin terus disisi Kyuhyun dan
memeluknya.
“Gomawo untuk hari ini. aku tidak merasa
kesepian lagi sekarang.” Ucapku saat kami sampai di depan pintu gerbang
rumahku.
“Aku juga merasa senang hari ini.
sampai jumpa, selamat tidur Jira, jaljayo.” Ucapnya.
“Jaljayo Kyuhyun, hati-hati
dijalan.”
Kyuhyun memutar motornya dan pergi menjauh
dengan kecepatan tinggi. Aku masuk kedalam rumah dengan perasaan gembira.
Senyum dan wajah Kyuhyun terus berputar-putar dikepalaku, membuatku tidak bisa
berhenti tersenyum.
***
Sudah lebih dari 6 bulan aku
membantu Kyuhyun di cafénya, dan belum pernah sekalipun aku meninggalkan meja
kasir. Kyuhyun selalu melarangku mengantarkan makanan, katanya dia takut aku
terlalu lelah. Kyuhyun juga sangat protektif padaku, dia sekarang selalu
mengantar dan menjemputku sebelum bekerja. Aku sudah akrab dengan semua
karyawan Kyuhyun, mereka semua sangat baik padaku.
Oppa Donghae masih jarang
menghubungiku, kalau aku sedang beruntung dia akan menghubungiku maksimal 2
kali dalam satu hari. Aku percaya dia tidak akan berselingkuh disana, tapi
apakah dia tidak pernah berfikir tentang perasaanku? Yang ada dipikirannya
hanya kerja, kerja, dan kerja.
Saat ini aku sedang menunggu Kyuhyun
didepan rumah, Appa tidak mengetahui aku bekerja di café. Appa selalu berangkat
pagi-pagi sekali saat aku masih dirumah, dan pulang sebelum aku pulang,
sehingga saat aku pulang Appa pasti sudah tidur. Kalau Appa tahu aku bekerja di
café, dia bisa marah besar padaku, dan mungkin aku tidak akan diijinkan lagi
keluar rumah.
Sebuah mobil hyunday berwarna hitam
berhenti didepanku. Aku baru pernah melihat mobil ini. Kyuhyun selama ini
menjemputku dengan motor balapnya, atau menaiki bus bersama saat dia tidak
menggunakan motornya, jadi mobil ini pasti bukan mobil Kyuhyun.
“Hai.” Kyuhyun turun dari mobil itu
dan menyapaku.
“Kyuhyun? Kau.. tumben sekali.”
Kataku sambil menunjuk mobilnya.
“Kau masuk dulu, nanti aku ceritakan
dijalan.” Kyuhyun membuka pintu mobil didepanku dan menyuruhku masuk.
Aku memasang sabuk pengamanku dan
mulai melihat-melihat isi mobil itu. Di dashboard mobil tampak foto terpasang.
Foto Kyuhyun dengan seorang Yeoja.
“Dia Haneul, benar?” tanyaku
padanya.
“Heem.” Ucapnya samil mengangguk.
“Cantik.”
“Ne, dan dia yang membuatku tidak
lagi berani menyetir.”
“Eh?” aku menoleh padanya. Dia
tampak menatap lurus kedepan, berkonsentrasi pada kemudinya.
“Sejak Haneul meninggal karena
tabrak lari, aku menjadi takut untuk menyetir. Aku takut akan mencelakakan
orang dan kejadian seperti Haneul terulang.”
“Tapi bukan kau yang menabraknya.
Untuk apa kau merasa bersalah.”
“Aku hanya merasa takut Jira, aku
trauma. Tanganku selalu gemetar saat memegang kemudi. Tapi saat aku melihatmu
entah kenapa keberanianku muncul kembali. Sejak seminggu yang lalu aku mencoba
menyetir kembali walau belum berani untuk mengajakmu menemaniku. Baru hari ini
aku yakin tanganku sudah tidak lagi bergetar saat memegang kemudi, jadi aku
menjemputmu dengan mobilku.” Dia menoleh sebentar padaku sambil tersenyum manis
sekali.
“Kau tahu siapa yang menabrak
Haneul?”
“Ani, tapi menurut seorang saksi,
mobil itu mobil mewah, Audi A5 warna silver kalo tidak salah.”
“Kapan itu terjadi?”
“18 September.”
18 September? Bukankah hari itu sama
dengan hari saat aku masuk ke rumah sakit lalu sehari setelahnya aku
mendapatkan donor jantung. Audi A5 warna silver? Sama seperti mobil Donghae
Oppa. Apa semua ini saling berkaitan? Ish apa yang aku pikirkan! Mana ada
kebetulan seperti itu.
“Bagaimana Haneul bisa tertabrak?”
“Dia hendak mengunjungi Kona Beans
dan memberi kejutan padaku, namun malangnya dia tidak hati-hati saat menyebrang
dan tertabrak. Tetapi pengendara mobil itu segera melarikan diri. Sudahlah
tidak usah membicarakn peristiwa itu lagi. ngomong-ngomong sejak kau ada Kona
Beans, caféku itu jadi makin ramai, sepertinya kau membawa keberuntungan.
Hahahaha.” Katanya.
“Kau percaya dengan hal seperti
itu?”
“Mungkin. Yang penting semua
karyawanku tampak senang kau berada disana. Mereka seperti mendapatkan adik
baru.”
Aku hanya tertawa kecil mendengar
ucapannya. Memang semua karyawan Kona Beans sangat akrab satu sama lain,
membuat mereka tampak seperti keluarga. Itulah salah satu alasan aku merasa
nyaman disana, selain keberadaan Kyuhyun tentunya.
***
Hari ini aku tidak berangkat bekerja
di Kona Beans. Aku sudah meminta ijin kepada Kyuhyun dengan alasan sakit. Dia
bilang dia akan menjengukku nanti malam, tapi aku melarangnya dengan beralasan
aku butuh istirahat, dan semua itu bohong adanya. Aku baik-baik saja, aku tidak
sakit dan tidak butuh istirahat hanya aku akan menyelidiki sesuatu hari ini.
Sejak semalam aku terus memikirkan
kata-kata Kyuhyun. Haneul ditabrak dan meninggal pada tanggal 18 September sama
dengan hari aku masuk ke rumah sakit, lalu sehari setelahnya tanggal 19
September aku mendapatkan donor jantung dari seseorang yang katanya baru
meninggal sehari sebelumnya. Mobil yang menabrak Haneul sama seperti mobil
Donghae, Audi A5 warna silver. Perasaan berdebar aneh yang aku rasakan setiap
aku melewati Kona Beans dulu, padahal aku belum pernah masuk kedalamnya
sekalipun. Menangis setiap melihat Kyuhyun dulu, walaupun aku tidak merasa
sedih dan akupun belum mengenal Kyuhyun. Mugkinkah semua ini saling berkaitan?
Aku memutuskan untuk kerumah sakit hari ini dan mencari tau segalanya.
“Annyeonghaseo.” Sapaku pada perawat
di meja resepsionis rumah sakit.
“Annyeonghaseo, ah Jira-ya bagaimana
kabarmu?” kata perawat itu.
“Baik.”
“Syukurlah kalau begitu, kau mau
check up? Bukankah baru dua minggu yang lalu jadwal chaeck upmu? Apa kau merasa
ada keluhan?”
“Ah, aniyo, ada sesuatu yang ingin
aku tanyakan, aku ingin mengetahui siapa pendonor jantungku.”
“Eh? Untuk apa?”
“Aku hanya ingin berterima kasih
pada keluarganya.”
“Apa arwah pendonor itu
mengganggumu?”
“Mwo? Ani, aniyo, suster ini
berpikiran yang tidak-tidak. Aku benar-benar Cuma ingin berterima kasih. Aku
mohon beri tahu aku siapa orangnya.”
“Baiklah, kau bisa ikut aku ke ruang
arsip.” Ucap perawat itu. Aku mengikuti setiap langkah kaki suster itu.
Sepanang jalan diapun selalu bercerita tentang pendonorku.
“Dia orang yang yang sangat
dermawan, dia selalu mendonorkan darahnya dirumah sakit ini setiap 3 bulan
sekali, dia juga menandatangi perjanjian dengan rumah sakit ini, apabila dia
meninggal rumah sakit boleh mengambil salah satu organ tubuhnya untuk didonorkan.
Aku tidak menyangka dia akan meninggal secepat itu.”
“Siapa namanya?” tanyaku.
“Kau bisa melihatnya didokumen ini.”
perawat itu mengambil sebuah map tebal di rak yang penuh berbagai map arsip di
ruangan arsip rumah sakit.
Aku membuka map itu dan melihat
sebuah foto terlampir diantara kertas-kertas. Foto seorang yeoja cantik. Yeoja
yang sama dengan yang aku lihat di dashboard mobil Kyuhyun. Di kertas
berlambangkan rumah sakit itu tertulis sebuah perjanjian.
Nama: Kang
Haneul
Usia: 22
tahun
Alamat: Dogok,
Seoul, Korea Selatan.
Bersedia
mendonorkan salah satu organ tubuhnya saat meninggal nanti untuk orang yang
membutuhkan donor organ.
Lalu dilembar berikutnya aku melihat
dataku sebagai resipien dari donor jantung Haneul. pikiranku kosong saat itu.
Tubuhku lemas, dan aku jatuh tertunduk ke lantai. Air mataku mengalir deras.
Sekarang aku tahu kenapa aku menangis saat melihat Kyuhyun, kenapa aku merasa
familiar dengan Kona Beans, kenapa jantungku selalu berdebar saat aku
berdekatan dengan Kyuhyun. Itu semua karena jantung yang berada didalam tubuhku
ini jantung Haneul. Haneul yang masih sangat mencintai Kyuhyun.
“Jira gwenchana?” kata perawat yang
bersamaku. “Kenapa kau menangis? Kau kenal orang ini?”
Aku tidak menjawabnya, aku hanya
memeluknya dan menangis keras-keras dibahunya. Salah satu bagian tubuh orang
yang paling Kyuhyun cintai ada padaku. Apakah dia akan membenciku saat dia tahu
semua ini? aku takut, aku takut Kyuhyun membenciku, aku takut Kyuhyun
meninggalkanku.
***
Kyuhyun’s
pov
Flashback
6 bulan yang lalu pada hari pertama Jira bekerja.
“Wookie-ya,
hari ini aku akan datang terlambat, hari ini Jira juga akan datang untuk
bekerja di Kona Beans, kau bisa menolongku? Ajari dia menjadi kasir, seragamnya
ada di tempat biasa, lokkernya bersebelahan denganku. Ne, ne, kau mengerti kan?
Ne gomawo.” Aku mematikan ponselku. Sekarang aku berada didepan rumah sakit
tempat Haneul meninggal dulu.
“Annyeonghaseo.”
Sapaku pada seorang perawat di meja resepsionis rumah sakit.
“Annyeonghaseo,
ada yang bisa saya bantu.” Kata perawat itu.
“Saya Kang
Kyuhyun, saya kakak kandung dari Kang Haneul, saya mau mencari tahu kepada
siapa dulu Kang Haneul mendonorkan jantungnya.”
“Apakah
anda benar-benar keluarganya?”
“Ne, saya
satu-satunya kakak kandungnya.”
“Baiklah
kalau begitu anda bisa ikut saya ke ruang arsip.”
Aku
mengikuti setiap langkah perawat itu menuju ruang arsip.
“Anda bisa
menemukannya disini. Kalau tidak salah file tentang Kang Haneul ada di.. ini
dia, anda bisa membacanya disini.” Perawat itu menyerahkan map berwarna putih
itu ke tanganku
Aku
membuka map itu dan menemukan surat perjanjian pendonor antara Haneul dan rumah
sakit, ada foto Haneul juga terselip disitu. Lalu dilembar kedua aku menemukan
data pasien penerima donor jantung dari Haneul.
Nama: Kim
Jira
Usia: 22
tahun
Alamat:
Daechi, Seoul, Korea Selatan.
Riwayat
penyakit: Gagal jantung.
Map itu
meluncur jatuh dari tanganku saat aku membaca lembar kedua itu. Jadi benar
dugaanku kalau Jira yang menerima donor jantung Haneul. itulah kenapa aku
merasa seperti sedang berada disamping Haneul saat Jira didepanku. Jantungku
yang berdegup kencang saat berdekatan dengan Jira, itu semua karena jantung
yang berdetak di tubuh Jira dalah jantung Haneul. aku bersandar pada rak di
belakangku. Badanku terasa lemas.
Apa yang
harus aku lakukan sekarang. Apakah Jira sudah tahu semua ini? apa yang akan dia
lakukan saat tau jantungnya sama dengan jantung Haneul. Apa dia akan
menghindariku? Aku tidak ingin berpisah dengan satu-satunya bagian tubuh Haneul
yang masih hidup. Aku harus menjaga Jira seperti aku menjaga Haneul. aku harus
menjaga jantung mereka, yang juga menjadi jantungku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar